BIOETIKA KEPERAWATAN
Keperawatan merupakan salah satu profesi yang mempunyai bidang garap pada kesejahtraan manusia yaitu dengan memberikan bantuan kepada individu yang sehat maupun yang sakit untuk dapat menjalankan fungsi hidup sehari-hariya. Salah satu yang mengatur hubungan antara perawat pasien adalah etika. Istilah etika dan moral sering digunakan secara bergantian.
Etika dan moral merupakan sumber dalam merumuskan standar dan prinsip-prinsip yang menjadi penuntun dalam berprilaku serta membuat keputusan untuk melindungi hak-hak manusia. Etika diperlukan oleh semua profesi termasuk juga keperawatan yang mendasari prinsip-prinsip suatu profesi dan tercermin dalam standar praktek profesional. (Doheny et all, 1982).
Profesi keperawatan mempunyai kontrak sosial dengan masyarakat, yang berarti masyarakat memberi kepercayaan kepada profesi keperawatan untuk memberikan pelayanan yang dibutuhkan. Konsekwensi dari hal tersebut tentunya setiap keputusan dari tindakan keperawatan harus mampu dipertanggungjawabkan dan dipertanggunggugatkan dan setiap penganbilan keputusan tentunya tidak hanya berdasarkan pada pertimbangan ilmiah semata tetapi juga dengan mempertimbangkan etika.
Etika adalah peraturan atau norma yang dapat digunakan sebagai acuan bagi perlaku seseorang yang berkaitan dengan tindakan yang baik dan buruk yang dilakukan seseorang dan merupakan suatu kewajiban dan tanggungjawanb moral.(Nila Ismani, 2001)
Bioetik adalah studi tentang isu etika dalam pelayanan kesehatan (Hudak & Gallo, 1997). Dalam pelaksanaannya etika keperawatan mengacu pada bioetik sebagaimana tercantum dalam sumpah janji profesi keperawatan dan kode etik profesi keperawatan.
Kemajuan ilmu dan teknologi terutama dibidang biologi dan kedokteran telah menimbulkan berbagai permasalahan atau dilema etika kesehatan yang sebagian besar belum teratasi ( catalano, 1991).
Etika adalah peraturan atau norma yang dapat digunakan sebagai acuan bagi perlaku seseorang yang berkaitan dengan tindakan yang baik dan buruk yang dilakukan seseorang dan merupakan suatu kewajiban dan tanggungjawanb moral.(Nila Ismani, 2001)
Etik merupakan suatu pertimbangan yang sistematis tentang perilaku benar atau salah, kebajikan atau kejahatan yang berhubungan dengan perilaku.
Etika merupakan aplikasi atau penerapan teori tentang filosofi moral kedalam situasi nyata dan berfokus pada prinsip-prinsip dan konsep yang membimbing manusia berpikir dan bertindak dalam kehidupannya yang dilandasi oleh nilai-nilai yang dianutnya. Banyak pihak yang menggunakan istilah etik untuk mengambarkan etika suatu profesi dalam hubungannya dengan kode etik profesional seperti Kode Etik PPNI atau IBI.
Nilai-nilai (values) adalah suatu keyakinan seseorang tentang penghargaan terhadap suatu standar atau pegangan yang mengarah pada sikap/perilaku seseorang. Sistem nilai dalam suatu organisasi adalah rentang nilai-nilai yang dianggap penting dan sering diartikan sebagai perilaku personal
Moral hampir sama dengan etika, biasanya merujuk pada standar personal tentang benar atau salah. Hal ini sangat penting untuk mengenal antara etika dalam agama, hukum, adat dan praktek profesional
Perawat atau bidan memiliki komitmen yang tinggi untuk memberikan asuhan yang berkualitas berdasarkan standar perilaku yang etis dalam praktek asuhan profesional. Pengetahuan tentang perilaku etis dimulai dari pendidikan perawat atau bidan, dan berlanjut pada diskusi formal maupun informal dengan sejawat atau teman. Perilaku yang etis mencapai puncaknya bila perawat atau bidan mencoba dan mencontoh perilaku pengambilan keputusan yang etis untuk membantu memecahkan masalah etika. Dalam hal ini, perawat atau bidan seringkali menggunakan dua pendekatan: yaitu pendekatan berdasarkan prinsip dan pendekatan berdasarkan asuhan keperawatan /kebidanan
Pendekatan berdasarkan prinsip
Pendekatan berdasarkan prinsip, sering dilakukan dalam bio etika untuk menawarkan bimbingan untuk tindakan khusus. Beauchamp Childress (1994) menyatakan empat pendekatan prinsip dalam etika biomedik antara lain; (1) Sebaiknya mengarah langsung untuk bertindak sebagai penghargaan terhadap kapasitas otonomi setiap orang: (2) Menghindarkan berbuat suatu kesalahan; (3) Bersedia dengan murah hati memberikan sesuatu yang bermanfaat dengan segala konsekuensinya; (4) Keadilan menjelaskan tentang manfaat dan resiko yang dihadapi
Dilema etik muncul ketika ketaatan terhadap prinsip menimbulkan penyebab konflik dalam bertindak. Contoh; seorang ibu yang memerlukan biaya untuk pengobatan progresif bagi bayinya yang lahir tanpa otak dan secara medis dinyatakan tidak akan pernah menikmati kehidupan bahagia yang paling sederhana sekalipun. Di sini terlihat adanya kebutuhan untuk tetap menghargai otonomi si ibu akan pilihan pengobatan bayinya, tetapi dilain pihak masyarakat berpendapat akan lebih adil bila pengobatan diberikan kepada bayi yang masih memungkinkan mempunyai harapan hidup yang besar. Hal ini tentu sangat mengecewakan karena tidak ada satu metoda pun yang mudah dan aman untuk menetapkan prinsip-prinsip mana yang lebih penting, bila terjadi konflik diantara kedua prinsip yang berlawanan. Umumnya, pendekatan berdasarkan prinsip dalam bioetik, hasilnya terkadang lebih membingungkan. Hal ini dapat mengurangi perhatian perawat atau bidan terhadap sesuatu yang penting dalam etika.
Terutama kemajuan di bidang biologi dan kedokteran, telah menimbulkan berbagai permasalahan atau dilema etika kesehatan yang sebagian besar belum teratasi (cakalano, 1991). Kemajuan teknologi kesehatan saat ini telah meningkatkan kemampuan bidang kesehatan dalam mengatasi kesehatan dan memperpanjang usia. Jumlah golongan usia lanjut yang semakin banyak, keterbatasan tenaga perawat, biaya perawatan yang semakin mahal, dan keterbatasan sarana kesehatan, telah menimbulkan etika keperawatan bagi individu perawat.
Beberapa pengertian yang berkaitan dengan dilema etik
1. Etik
Etik adalah norma-norma yang menentukan baik-buruknya tingkah laku manusia, baik secara sendirian maupun bersama-sama dan mengatur hidup ke arah tujuannya ( Pastur scalia, 1971 )
2. Etik Keperawatan
Etik keperawatan adalah norma-norma yang di anut oleh perawat dalam bertingkah laku dengan pasien, keluarga, kolega, atau tenaga kesehatan lainnya di suatu pelayanan keperawatan yang bersifat professional. Prilaku etik akan dibentuk oleh nilai-nilai dari pasien, perawat dan interaksi sosial dalam lingkungan.
3. Kode Etik Keperawatan
Kode etik adalah suatu tatanan tentang prinsip-prinsip imum yang telah diterima oleh suatu profesi. Kode etik keperawatan merupakan suatu pernyataan komprehensif dari profesi yang memberikan tuntutan bagi anggotanya dalam melaksanakan praktek keperawatan, baik yang berhubungan dengan pasien, keluarga masyarakat, teman sejawat, diri sendiri dan tim kesehatan lain, yang berfungsi untuk
• Memberikan dasar dalam mengatur hubungan antara perawat, pasien, tenaga kesehatan lain, masyarakat dan profesi keperawatan.
• Memberikan dasar dalam menilai tindakan keperawatan
• Membantu masyarakat untuk mengetahui pedoman dalam melaksanakan praktek keperawatan.
• Menjadi dasar dalam membuat kurikulum pendidikan keperawatan ( Kozier & Erb, 1989 )
4. Dilema Etik
Dilema etik adalah suatu masalah yang melibatkan dua ( atau lebih ) landasan moral suatu tindakan tetapi tidak dapat dilakukan keduanya. Ini merupakan suatu kondisi dimana setiap alternatif memiliki landasan moral atau prinsip. Pada dilema etik ini sukar untuk menentukan yang benara atau salah dan dapat menimbulkan stress pada perawat karena dia tahu apa yang harus dilakukan, tetapi banyak rintangan untuk melakukannya. Dilema etik biasa timbul akibat nilai-nilai perawat, klien atau lingkungan tidak lagi menjadi kohesif sehingga timbul pertentangan dalam mengambil keputusan. Menurut Thompson & Thompson (1985 ) dilema etik merupakan suatu masalah yang sulit dimana tidak ada alternatif yang memuaskan atau situasi dimana alternatif yang memuaskan atau tidak memuaskan sebanding. Dalam dilema etik tidak ada yang benar atau yang salah. Untuk membuat keputusan yang etis, seorang perawat tergantung pada pemikiran yang rasional dan bukan emosional.
B. Prinsip-Prinsip Moral Dalam Praktek Keperawatan
Prinsip moral merupakan masalah umum dalam melakukan sesuatu sehingga membentuk suatu sistem etik. Prinsip moral berfungsi untuk membuat secara spesifik apakah suatu tindakan dilarang, diperlukan atau diizinkan dalam situasi tertentu. ( John Stone, 1989 )
1. Autonomi
Autonomi berarti kemampuan untuk menentukan sendiri atau mengatur diri sendiri, berarti menghargai manusia sehingga memperlakukan mereka sebagai seseorang yang mempunyai harga diri dan martabat serta mampu menentukan sesuatu bagi dirinya.
2. Benefesience
Merupakan prinsip untuk melakukan yang baik dan tidak merugikan pasien atau tidak menimbulkan bahaya bagi pasien.
3. Justice
Merupakan prinsip moral untuk bertindak adil bagi semua individu, setiap individu mendapat pperlakuan dan tindakan yang sama. Tindakan yang sama tidak selalu identik tetapi dalam hal ini persamaan berarti mempunyai kontribusi yang relatif sama untuk kebaikan hidup seseorang
4. Veracity
Merupakan prinsip moral dimana kita mempunyai suatu kewajiban untuk mengatakan yang sebenarnya atau tidak membohongi orang lain / pasien. Kebenaran merupakan hal yang fundamental dalam membangun suatu hubungan denganorang lain. Kewajiban untuk mengatakan yang sebenarnya didasarkan atau penghargaan terhadap otonomi seseorang dan mereka berhak untuk diberi tahu tentang hal yang sebenarnya.
5. Avoiding Killing
Merupakan prinsip yang menekankan kewajiban perawat untuk menghargai kehidupan. Bila perawat berkewajiban melakukan hal-hal yang menguntungkan (Benefisience ) haruskah perawat membantu pasien mengatasi penderitaannya ( misalnya akibat kanker ) dengan mempercepat kematian ? Kewajiban perawat untuk menghargai eksistensi kemanusiaan yang mempunyai konsekuensi untuk melindungi dan mempertahankan kehidupan dengan berbagai cara.
6. Fedelity
Merupakan prinsip moral yang menjelaskan kewajiban perawat untuk tetap setia pada komitmennya, yaitu kewajiban mempertahankan hubungan saling percaya antara perawat dan pasien. Kewajiban ini meliputi meenepati janji, menyimpan rahasia dan “caring “
C. Kerangka Proses Pemecahan Masalah Dilema Etik
Kerangka pemecahan dilema etik banyak diutarakan oleh para ahli dan pada dasarnya menggunakan kerangka proses keperawatan / Pemecahan masalah secara ilmiah, antara lain :
1. Model Pemecahan masalah ( Megan, 1989 )
Ada lima langkah-langkah dalam pemecahan masalah dalam dilema etik.
a. Mengkaji situasi
b. Mendiagnosa masalah etik moral
c. Membuat tujuan dan rencana pemecahan
d. Melaksanakan rencana
e. Mengevaluasi hasil
2. Kerangka pemecahan dilema etik (kozier & erb, 1989 )
a. Mengembangkan data dasar.
Untuk melakukan ini perawat memerukan pengumpulan informasi sebanyak mungkin meliputi :
• Siapa yang terlibat dalam situasi tersebut dan bagaimana keterlibatannya
• Apa tindakan yang diusulkan
• Apa maksud dari tindakan yang diusulkan
• Apa konsekuensi-konsekuensi yang mungkin timbul dari tindakan yang diusulkan.
b. Mengidentifikasi konflik yang terjadi berdasarkan situasi tersebut
c. Membuat tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan mempertimbangkan hasil akhir atau konsekuensi tindakan tersebut
d. Menentukan siapa yang terlibat dalam masalah tersebut dan siapa pengambil keputusan yang tepat
e. Mengidentifikasi kewajiban perawat
f. Membuat keputusan
3. Model Murphy dan Murphy
a. Mengidentifikasi masalah kesehatan
b. Mengidentifikasi masalah etik
c. Siapa yang terlibat dalam pengambilan keputusan
d. Mengidentifikasi peran perawat
e. Mempertimbangkan berbagai alternatif-alternatif yang mungkin dilaksanakan
f. Mempertimbangkan besar kecilnya konsekuensi untuk setiap alternatif keputusan
g. Memberi keputusan
h. Mempertimbangkan bagaimanan keputusan tersebut hingga sesuai dengan falsafah umum untuk perawatan klien
i. Analisa situasi hingga hasil aktual dari keputusan telah tampak dan menggunakan informasi tersebut untuk membantu membuat keputusan berikutnya.
4. Model Curtin
a. Mengumpulkan berbagai latar belakang informasi yang menyebabkan masalah
b. Identifikasi bagian-bagian etik dari masalah pengambilan keputusan.
c. Identifikasi orang-orang yang terlibat dalam pengambilan keputusan.
d. Identifikasi semua kemungkinan pilihan dan hasil dari pilihan itu.
e. Aplikasi teori, prinsip dan peran etik yang relevan.
f. Memecahkan dilema
g. Melaksanakan keputusan
5. Model Levine – Ariff dan Gron
a. Mendefinisikan dilema
b. Identifikasi faktor-faktor pemberi pelayanan.
c. Identifikasi faktor-faktor bukan pemberi pelayana
• Pasien dan keluarga
• Faktor-faktor eksternal
d. Pikirkan faktor-faktor tersebut satu persatu
e. Identifikasi item-item kebutuhan sesuai klasifikasi
f. Identifikasi pengambil keputusan
g. Kaji ulang pokok-pokok dari prinsip-prinsip etik
h. Tentukan alternatif-alternatif
i. Menindaklanjuti
6. Langkah-langkah menurut Purtilo dan Cassel ( 1981)
Purtilo dan cassel menyarankan 4 langkah dalam membuat keputusan etik
a. Mengumpulkan data yang relevan
b. Mengidentifikasi dilema
c. Memutuskan apa yang harus dilakukan
d. Melengkapi tindakan
7. Langkah-langkah menurut Thompson & Thompson ( 1981) mengusulkan 10 langkah model keputusan bioetis
a. Meninjau situasi untuk menentukan masalah kesehatan, keputusan yang diperlukan, komponen etis dan petunjuk individual.
b. Mengumpulkan informasi tambahan untuk mengklasifikasi situasi
c. Mengidentifikasi Issue etik
d. Menentukan posisi moral pribadi dan professional
e. Mengidentifikasi posisi moral dari petunjuk individual yang terkait.
f. Mengidentifikasi konflik nilai yang ada
D. Strategi Penyelesaian Masalah Etik
Dalam menghadapi dan mengatasi permasalahan etis, antara perawat dan dokter tidak menutup kemungkinan terjadi perbedaan pendapat. Bila ini berlanjut dapat menyebabkan masalah komunikasi dan kerjasama, sehingga menghambat perawatan pada pasien dan kenyamanan kerja. (Mac Phail, 1988)
Salah satu cara menyelesaikan permasalahan etis adalah dengan melakukan rounde ( Bioetics Rounds ) yang melibatkan perawat dengan dokter. Rounde ini tidak difokuskan untuk menyelesaikan masalah etis tetapi untuk melakukan diskusi secara terbuka tentang kemungkinan terdapat permasalahan etis.
nenoseptigaptetty
Kamis, 20 Januari 2011
Selasa, 11 Januari 2011
teori teleologi
Teori teleologi
Pengertian Nilai dan Etika
Cendekiawan dan ahli falsafah memberi pengertian yang pelbagai mengenai nilai dan etika. Menurut kamus Dewan nilai bererti prinsip moral, kepercayaan dan juga harga diri . Suffean Hussin merujuk nilai kepada mutu, faedah, kepentingan, dan ‘valuableness” sesuatu tingkah laku, pegangan, amalan, aktiviti dan objek.
Umumnya nilai adalah satu ideal atau konsep yang wujud dalam pemikiran manusia yang menggambarkan pelbagai darjah perlakuan umpamanya, kecantikan, kemuliaan, keikhlasan, dan keefisienan yang dijadikan pegangan dan yang membantu mengarahkan manusia membuat keputusan atau menetapkan yang mana baik dan yang tidak baik. Nilai dijadikan pilihan ke arah mencapai matlamat akhir.
Etika berasal daripada perkataan ‘ethics’ yang diambil daripada perkataan ‘ethos’ yang membawa maksud sikap dan adat yang menentukan tingkah laku sesuatu golongan. Kamus Dewan Bahasa Pustaka mendefinisikan Etika sebagai suatu sistem dasar akhlak, adat atau tingkah laku atau kesusilaan. Etika boleh dibahagikan kepada 2 iaitu Normatik yang merujuk kepada panduan dan peraturan yang berkaitan dengan tingkah laku yang baik dan jahat; manakala Metaethic pula dibahagikan kepada dua iaitu Analitik yang berkaitan dengan menganalisis semua peraturan yang berkaitan tingkah laku baik dan jahat, dan Kritikal yang berkaitan dengan mengkritik terhadap apa-apa yang telah dianalisis. Dengan lain perkataan,etika dapat didefinisikan sebagai sains moral dan prinsip-prinsip moral.
Teori Teleologikal
Golongan yang mengatakan bahawa tiada pertalian antara peraturan masyarakat (kemoralan sosial) serta keperibadian mulia dengan etika, biasanya lebih cenderung berfikir sendiri tentang kriteria moral. Oleh itu, mereka telah berfalsafah dan akhirnya menghasilkan beberapa teori etika yang mengutamakan atau berasaskan prinsip tertentu. Tetapi prinsip etika itu berbeza dan bertentangan. Bab ini akan mendedahkan serta membuat sedikit ulasan atau kritikan terhadap dua prinsip etika yang boleh disifatkan sebagai teleologi.
Teori teleologi menegaskan bahawa kriteria dan piawai asas tentang sesuatu yang benar, baik, salah, jahat, dan sebagainya ialah penghasilan nilai moral yang dianggap baik. Bagi teori ini, kebaikan atau kejahatan sesuatu ditentukan oleh nilai instrumentalnya. Seterusnya, sesuatu tindakan atau peraturan dianggap bermoral jika jumlah kebaikan yang dihasilkan melebihi kejahatan.
Teori Etika Teleologikal yang juga dikenali dengan ‘consequentialism’ adalah sejenis teori yang mendakwa bahawa semada sesuatu tindakan secara moral itu betul atau salah adalah bergantung sepenuhnya kepada akibat (consequences) atau hasil daripada sesuatu tindakan. Setiap tindakan yang mendatangkan kesan yang baik adalah tindakan beretika . Contohnya kalau seseorang itu mencuri wang daripada seseorang yang kaya dan kedekut dan kemudian di agihkan kepada si miskin di anggap baik, kerana bilangan orang yang beruntung adalah melebihi daripada seseorang kaya yang kena curi. Seseorang itu dianggap tidak beretika dianggap tidak beretika apabila tindakannya menolong orang buta melintasi jalan raya, tetapi berkesudahan dengan kecelakaan.
Bagaimanapun, ahli teleologi mempunyai pandangan yang berbeza tentang apa yang dikatakan baik dan jahat serta kebaikan siapa yang hendak dimajukan. Ini menyebabkan Wujudnya beberapa jenis teleologi yang berbeza seperti utilitarianisme dan egoisme.
Utilitarianisme
Etika utilitarianisme berpegang kepada prinsip bahawa seseorang itu sepatutnya melakukan sesuatu tindakan yang akan menghasilkan kebaikan yang paling banyak kepada setiap orang atau kebahagiaan yang paling ramai. Kebahagiaan yang dimaksudkan ialah keseronokan (iaitu sesuatu yang bukan bersifat moral).
Seorang pengikut utilitarianisme yang terkemuka ialah John Stuart Mill (1806-1873). Mill (1964) memerihalkan utilitarianisme seperti berikut: Konsep utiliti atau Prinsip Kebahagiaan Terbanyak menekankan sesuatu perlakuan itu benar atau baik mengikut kadar atau perimbangan kebahagiaan yang dimajukan dan dihasilkan oleh perlakuan itu. Yang dimaksudkan dengan kebahagiaan ialah keseronokan yang dihajati dan tiadanya kesakitan, manakala kedudukan ialah kesakitan dan tiadanya keseronokan. Keseronokan (bebas daripada kesakitan) sahajalah natijah atau hasil yang benar, baik dan yang diidamkan.
Warnock (1979) pula berpendapat bahawa perkataan utilitarian dicipta oleh Jeremy Bentham (1748-1832). Oleh itu, Bentham telah dianggap sebagai pengasas prinsip utiliti dalam perbahasan moral. Sesungguhnya, Bentham(1970) mengatakan bahawa manusia dikuasai dan dipengaruhi keseronokan serta kesakitan, manakala kemoralan ialah usaha mencari kebahagiaan, iaitu keseronokan.
Quinton (1973), misalnya, menganggap individu yang memegang prinsip utilitarianisme sebagai mereka yang bersetuju bahawa kebaikan sesuatu tindakan atau perlakuan ditentukan oleh nilai natijah daripada tindakan itu sendiri. Penentuan nilai berkenaan ialah keseronokan dan kesakitan yang wujud bersamanya.
Sebelum ulasan dibuat terhadap etika utilitarianisme, untuk memperjelaskan teori etika ini eloklah isu moral berkaitan peperangan diambil sebagai contoh. Bagi utilitarianisme, dalam memutuskan kemoralan melancarkan peperangan tertentu menerusi cara berperang tertentu, seseorang itu mesti menimbangkan kemudahan dan kebaikan yang mungkin dihasilkan oleh peperangan itu. Jika kemudaratan itu dijangka melebihi apa-apa akibat yang baik yang boleh dinikmati negara yang melancarkan peperangan itu (walaupun negara berkenaan menang), menurut etika utilitarianisme, peperangan itu tidak boleh di justifikasikan. Sebaliknya, peperangan serta cara peperangan itu dikendalikan dianggap wajar dari segi moral oleh etika utilitarianisme jika hasilnya membawa kebahagiaan dan kebaikan lebih daripada kesengsaraan dan penderitaan.
Justeru itu, utilitarianisme akan menyokong tindakan mengebom bandar bandar di Jerman (walaupun ramai yang tidak berdosa terkorban)
untuk menamatkan Perang Dunia Kedua kerana jika pihak Nazi menang, dunia ini akan kehilangan sifat ke manusiaannya dan kezaliman akan berleluasa. Walau apa pun, yang menjadi masalah ialah setiap negara yang pernah berperang selalunya mendakwa mereka berbuat demikian untuk menegakkan kebenaran bagi kebaikan dunia, manakala cara serta alat peperangan canggih yang digunakan adalah wajar dari segi moral!
Berbalik kepada penerangan Bentham dan Mill di atas, kita bolehlah menganggap penerangan Bentham dan Mill sebagai pengalaman keseronokan mestilah dimaksimumkan dan kesakitan diminimumkan. Jika inilah halnya prinsip utiliti, dalam meminimumkan kesakitan, akan membenarkan kita dalam situasi tertentu untuk melakukan perkara tidak baik atas alasan perlu bagi menyekat berlakunya sesuatu yang lebih buruk. Misalnya, kita akan dibenarkan mendera dengan keras seseorang yang telah membuat kesalahan, malahan menghukum orang yang tidak bersalah (scapegoat) jika ini perlu dan mencukupi untuk mengelakkan kekacauan, kerugian, kerosakan, kejahatan atau kecelakaan lebih besar.
Begitu juga untuk memaksimumkan keseronokan, sesuatu perlakuan yang melibatkan bercakap bohong, tidak menepati janji dan sebagainya yang boleh membawa kebahagiaan kepada 10 orang, akan diutamakan daripada perlakuan lain yang dapat menjana jumlah kebahagiaan yang sama hanya kepada sembilan orang walaupun perlakuan yang kedua ini tidak melibatkan perkara tidak baik seperti bercakap bohong.
Sekali lagi, atas prinsip memaksimumkan kebahagiaan, dalam mengagihkan sesuatu seperti wang atau barang kepada sekumpulan manusia, orang yang paling iri hati atau tamak sepatutnya mendapat lebih. Ini kerana orang biasa mudah bersyukur, tetapi orang yang iri hati atau tamak mesti mahu lebih daripada orang lain, barulah mereka berpuas hati, seronok dan bahagia.
Tetapi semua contoh minimumkan kesakitan dan memaksimumkan keseronokan, sebenarnya tidak adil dan berat sebelah. Oleh itu, mestilah diakui bahawa konsep utiliti dengan, mudah boleh berkonflik dengan prinsip keadilan.
Kerumitan mendamaikan utiliti dengan keadilan (suatu prinsip atau virtue moral yang asas) bukan sahaja boleh menjadikan prinsip utiliti itu sebagai asas koral atau etika yang memuaskan.
Aspek lain dalam prinsip utiliti dalam teori ini yang masih boleh diperbaiki.
Pertama
Keseronokan dan kesakitan ialah perasaan. Perasaan adalah subjektif. Seperti yang dinyatakan oleh Durkhein (1968), keseronokan atau kebahagiaan pada hakikatnya ialah suatu perasaan atau pengalaman yang subjektif yang setiap orang menikmatinya mengikut kehendak sendiri.
Oleh itu, prinsip utiliti tidak bersifat objektif tetapi subjektif atau relatif seperti juga prinsip simpati atau antipati yang telah dikritik oleh Bentham. Beliau mengkritik dan memburuk-burukkan prinsip utilitinya.
Kedua
Kerosakan dan kesakitan bukan sahaja subjektif, tetapi sesuatu yang disangsikan atau kabur. Mereka yang berfahaman utilitarianisme percaya bahawa kerosakan dan kesakitan adalah sendiri. Dan semua sensasi hanya boleh digolongkan kepada kerosakan da kesakitan. Tetapi ramai pengkritik utilitarianisme berpendapat bahawa semua kepercayaan dan anggapan itu tidak tepat.
Parekh (1974), misalnya berhujah bahawa ada keadaan minda yang tidak boleh diterangkan dengan betul dan tepat bagi menggambarkan keseronokan atau kesakitan.
Menurutnya, terdapat sensasi yang belum tercapai intensiti atau keamanan minimum tertentu, sungguhnya bukan sensasi keseronokan atau sensasi kesakitan dan terdapat sensasi yang enak dan enak dan kurang menyenangkan tetapi tidak menyakitkan. Contohnya seseorang itu sakit kepalanya. Terdapat pula sensasi yang menyakitkan tetapi tidak semestinya merunsingkan atau tidak menyenangkan. Misalnya seorang ibu melahirkan anaknya.
Ketiga
Prinsip utiliti menggambarkan manusia hanya sebagai pemburu keseronokan atau manusia itu secara naluri semestinya membenci kesakitan. Dalam hal ini, terdapat juga hujah yang boleh dikemukakan untuk menunjukkan bahawa gambaran tentang manusia ini tidak tepat.
Masochists misalnya berpendapat bahawa menikmati dan suka kepada kesakitan atau mendapat kepuasan daripada kesakitan yang dilakukan terhadap dirinya sendiri. Mereka merasai, mengalami atau menanggung keperitan dan kesakitan kerana mendapat kerosakan daripada kesakitan itu. Mungkin ada juga orang lain yang menanggung kesakitan hanya kerana mereka hendak merasainya, bukan kerana menginginkannya dan insan ini tidak mendapat sebarang keseronokan daripada apa yang dialaminya.
Nietzsche (1968) juga menentang idea bahawa manusia menjauhkan diri daripada kesakitan, iaitu membenci kesakitan. Beliau mengatakan bahawa untuk berusaha mendapatkan kuasa, manusia mesti mengatasi rintangan dan menempuh halangan.
Ini ditafsirkan oleh beliau sebagai mengejar atau memburu kuasa melalui kesakitan. Oleh itu, kesakitan ialah sesuatu yang wujud dalam alam ini sebagai sifat atau bahagian yang tetap dan semula jadi. Kesakitan tidak perlu dielakkan tetapi mesti diatasi untuk mencapai kuasa. Beliau juga menggambarkan kesakitan sebagai ‘bapa‘ kepada segala keseronokan serta pendahuluan kepada segala keseronokan kerana kesakitan ialah pengalaman mengatasi sesuatu rintangan atau halangan.
Dalam pernyataan prinsip utiliti ini, terdapat dua istilah lain yang perlu juga diteliti. Pertama ialah istilah kebaikan. menurut prinsip utiliti, pengalaman keseronokan mestilah dikaitkan dengan kebaikan dan pengalaman kesakitan dikaitkan dengan kejahatan. Kita sepatutnya menentang pengenalpastian kebaikan dengan keseronokan kerana ada nilai lain yang berkait dengan kebaikan yang lebih patut dianggap sebagai matlamat hidup. Contohnya, kebebasan, kesihatan, ilmu. pengetahuan dan kualiti lain yang menjadikan kehidupan itu berharga.
Kesemuanya ini boleh kita akui sebagai lebih penting berbanding dengan keseronokan dan sesuatu yang benar benar baik dan segi moral. Patut juga ditekankan bahawa terdapat keseronokan yang jahat dan hasad kerana ada manusia atau dengan kata lain sadist yang berasa seronok membunuh dan menyeksa orang lain atau memusnahkan harta benda orang, misalnya.
Umumnya, perlakuan ini dianggap sebagai tidak baik, tetapi jika seseorang itu menikmati keseronokan melakukannya, perlakuan orang itu pasti lebih dahsyat berbanding jika dia melakukannya atas sebab lain. Misalnya, menyeksa orang lain kerana hendak mendapatkan sesuatu daripada pihak musuh mungkin tidak sejahat menyeksa seseorang kerana keseronokan.
Seterusnya ialah istilah kebahagiaan. Prinsip utiliti turut menyamakan keseronokan dengan kebahagiaan. Ini juga sukar diterima kerana sebenarnya kedua dua istilah itu patut dibezakan. Menurut Frankena (1973), 'keseronokan' membayangkan perasaan yang agak khusus sedangkan 'kebahagiaan' tidak demikian. Berbeza dengan 'kebahagiaan', 'keseronokan' membayangkan sensasi 'rendah' atau sensasi fizikal, iaitu sesuatu yang tidak mendalam atau berpanjangan berbanding dengan kepuasan jangka panjang dan lebih mendalam yang terdapat, pada. ‘kebahagiaan’.
Selain itu, ungkapan seperti 'kehidupan yang menyeronokkan' menggambarkan sesuatu yang agak berbeza daripada rangkai kata 'kehidupan yang membahagiakan'. Oleh itu jika kita bersetuju dengan ciri-ciri keseronokan di atas, dengan menegaskan bahawa keseronokan ialah kebahagiaan, keraguan kita akan bertambah tentang sama ada kebahagiaan mesti dilihat sebagai tujuan utama kehidupan manusia atau tidak.
Akhir sekali, utilitarianisme membayang bahawa tidak kira maksud tindakan itu baik atau jahat, kedua-duanya boleh disukat. Dari segi kuantiti pula, yang paling baik dan jahat mestilah boleh diimbangi. Behtham bertanggung jawab dalam usaha menghasilkan suatu ‘kalkulus hedonok’ bagi keseronokan dan kesakitan dengan menggunakan tujuh keadaan atau demensi, iaitu intensiti keseronokan atau kesakitan; jangka masanya;ketentuan atau ketidakpastiannya; keadaan dekat atau terpencilnya; sifat kebaikannya; ketulenan dan takutnya. Empat dimensi yang pertama hendaklah diambil kira dalam menilai keseronokan dan kesakitan.
Perkiraan ini hanya merujuk seseorang insan dan bagi sesuatu keseronokan atau kesakitan. Tetapi apabila keseronokan atau kesakitan lain dipertimbang, dimensi kelima dan keenam hendaklah diambil kira. Dimensi ketujuh pula dipertimbang apabila perkiraan ini melibatkan lebih seorang insan. Untuk mendapatkan perkiraan tepat terhadap kecenderungan am sesuatu perlakuan yang melibatkan sesuatu komuniti terhadap kepentingan sesuatu komuniti, Bentham mengemukakan suatu proses atau arahan yang terlalu panjang untuk dihuraikan di sini.
Tentang kalkulus hedonik Bentham (ialah proses menyukat keseronokan dan kesakitan), perlu ditegaskan bahawa 'proses ini ialah suatu urusan yang sukar kerana menghadapi berbagai bagai masalah. Pertama, kerana tiada manusia yang boleh memberikan jumlah perasaannya dengan tepat. Contohnya intensiti keseronokan atau kesakitan yang dirasai seseorang sukar disukat. Satu lagi masalah ialah setiap orang mengalami keseronokan dan kesakitan yang tidak sama dari segi mutu dan tahapnya.
Bentham sendiri mengatakan bahawa terdapat 14 jenis keseronokan dan 12 jenis kesakitan yang berbeza antara satu sama lain dari segi kualitinya. Dan menyedari hal ini Mill (1964) berkata, tidak munasabah jika dalam menaksir dan menyukat keseronokan atau kesakitan, perkiraan hanya bergantung kepada kuantiti sedangkan dalam menilai unsur lain, kuantiti dan kualiti diambil kira. Oleh sebab kualiti mempengaruhi nilai, timbullah pertanyaan sama ada seseorang itu boleh membuat perbandingan kuantitatif antara keseronokan dengan kesakitan yang tidak serupa dari segi kualiti.
Selain itu, terdapat kerumitan menyukat kuantiti keseronokan dan kesakitan seseorang, pada masa yang berlainan dan berkait dengan pengalaman yang berbeza. Kalkulus hedonik juga membandingkan perasaan individu yang berbeza. Tetapi menurut Mackie (1979), sukatan antara orang perseorangan menimbulkan kerumitan yang lebih besar.
Bagaimanapun, Bentham yang menyedari masalah ini, telah menghuraikan perbincangannya dengan memperkenalkan 32 situasi yang mempengaruhi perasaan. Tetapi kerana situasi itu sendiri wujud dalam jumlah gabungan yang tidak terhad, keadaan ini tidak dapat membantu kita bagi membandingkan perasaan individu yang berbeza terhadap keseronokan atau kesakitan. Tegasnya, terdapat kerumitan yang tidak boleh diatasi untuk menyukat atau mengimbangi keseronokan dan kesakitan. Oleh itu, kenyataan ini merupakan suatu tentangan yang serius terhadap kekuatan prinsip utiliti.
Daripada keseluruhan perbincangan kita tentang prinsip utiliti, kesimpulannya ialah kita mesti berjaga jaga dan berwaspada dalam menerima fahaman atau pendapat utiliti sebagai suatu prinsip etika mahupun pegangan dalam kehidupan. Ini kerana prinsip etika yang di kemukakan masih tidak kukuh dan masih boleh dipertikaikan oleh orang lain mahupun pihak lain.
Egoisme.
Ahli falsafah Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844 1900) ialah seorang ahli falsafah yang mengkritik utilitarianisme. Bagaimanapun, beliau lebih kuat menentang kemoralan sosial iaitu yang berasaskan tradisi dan peraturan masyarakat.
Ahli falsafah ini pernah menggambarnya kemoralan sosial, terutara etika agama Nasrani dan Yahudi, sebagai ciptaan hamba abdi ( slave morality atau herd morality). Dalam buku On the Genealogy of Morals and Ecc Homo, beliau menyentuh asal usul kemoralan hamba abdi ini. Dalam penerangannya, Nietzche pertamanya mengenal pasti dua kumpulan manusia, iaitu orang biasa atau rakyat jelata dan kumpulan tuan. Kumpulan tuan biasanya terdiri dari golongan bangsawan.
Menurut Nietzsche pertamanya rakyat jelata lemah dan tidak berdaya walaupun dari segi bilangan, lebih ramai. Kaum bangsawan pula, sungguhpun mereka kaum minoriti, adalah kuat, individualistik dan mempunyai iradat atau tekat untuk berkuasa dan bebas. Tekad untuk berkuasa ini merupakan tekad kaum bangsawan untuk hidup sebagai overman atau superman, iaitu individu yang ingin mencapai serta menikmati kemoralan ketuanan ( master morality).
Oleh sebab itu mereka lemah dan miskin, rakyat jelata ingin melindungi diri mereka daripada diekploitasi oleh kaum bangsawan yang berkuasa itu. Menurut Nietzsche, rakyat jelata biasanya berasa sakit hati dan menyimpan dendam terhadap kemoralan ketuanan yang dianuti kaum bangsawan. Rakyat jelata yang sentiasa menentang bangsawan akhirnya berjaya mendesak golongan itu mengkaji semula pendirian nilai mereka. Akhirnya kaum bangsawan mula mempercayai dan menganggap bahawa ‘baik’ bukanlah bermaksud ‘bangsawan’ tetapi ‘baik’ ialah ‘mengasihi dan menurut segala perintah Tuhan’.
Kaum bangsawan, berikutan penentangan rakyat jelata, mula melihat diri mereka sendiri mereka sendiri sebagai buruk dan durjana. Mereka akhirnya menganggap bahawa nilai asal mereka ( individualisme atau egoisme) sebagai salah dan terkutuk. Piawai dan ukuran baik dan jahat kaum bangsawan sekarang sudah menjadi piawai baik dan durjana bagi rakyat jelata.
Perubahan nilai kaum bangsawan di atas telah dihasilkan dengan berkesan oleh rakyat jelata dengan memperkenalkan peraturan moral yang mengandungi konsep serta pengorbanan diri, rasa bersalah suara batin dendaan pahala dan dosa serta kepercayaan agama.
Menurut Nietzsche, mencipta tuhan atau menyedarkan wujudnya Tuhan dan agama yang melindungi dan menjadikan peraturan moral rakyat jelata kekal dan universal, lahir daripada pemberontakan agung golongan majoriti ini terhadap ketuanan nilai bangsawan. Rakyat jelata telah berjaya menjadikan etika dan kemoralan atau perkara salah dan benar itu sebagai berpunca daripada perundangan tuhan.
Usaha rakyat biasa memutlakkan peraturan moral mereka dengan mengaitkan autoriti agama atau Tuhan telah ditentang oleh Nietzsche kerana menurutnya, perkara ini merupakan perkembangan ke arah kemoralan hamba abdi yang merendahkan martabat manusia seperti binatang peliharaan atau pun binatang gembala. Beliau berpendapat bahawa keadaan wujudnya manusia masih dalam proses pengubahsuaian dan belum lagi menguasai persekitarannya.
Oleh itu, bergantung kepada keadaan dan apabila ada peluang, peraturan moral yang digubal dengan sewenang wenangnya oleh rakyat biasa hendaklah ditentang dan diubah bagi menjamin kemajuan dan kecekapan kaum bangsawan. Oleh sebab pendapat teori ini yang menyatakan Tuhan dan agama ciptaan rakyat biasa melindungi peraturan moral daripada perubahan, kepercayaan itu ialah musuh kehidupan dan kebenaran bagi mereka. Dengan ini, konsep pahala dan dosa telah ditolak oleh mereka.
Sebaliknya, dalam usaha menjadi superman, maju dan cekap, individu mesti menentang pengorbanan diri dan menggantikannya dengan pemeliharaan diri, pengasihan diri, pembesaran diri, kepentingan diri dan ego. Individu mesti juga memulihkan tekadnya untuk berkuasa, iaitu naluri semula jadinya yang membolehkan dia membezakan unsur yang boleh menguntungkan berbanding dengan yang merugikannya dan kemudian menekan, menguasai serta mengeksploitasi unsur itu.
Seperti yang diterangkan di atas, tekad untuk berkuasa mestilah ditafsirkan juga sebagai tekad untuk hidup. Menurut Nietzsche, mengeksploitasi rakyat biasa dan bukannya pengorbanan diri malah dasar atau hakikat kehidupan. Sebagai rumusan, ahli falsafah ini ialah seorang egois yang mahu melihat kaum bangsawan (sebagai manusia yang individualistik) menjadi tuan kepada kod etika, peraturan dan undang undang moral. Beliau mendesak agar kaum bangsawan dan egois bangkit semula dan berkuasa dalam lapangan moral.
Pendapat atau falsafah Nietzsche yang diterangkan dengan ringkas di atas tentu sekali ditentang oleh mereka yang beragama. Bagi penentang falsafah ini, Nietzsche dianggap sebagai ateis yang tidak bermoral. Nietzsche juga ditentang oleh pendukung demokrasi serta mereka yang berjiwa masyarakat dan berfikiran sivik.
Sesungguhnya, egois biasanya mementingkan diri sendiri sahaja dan tidak mengambil kira kepentingan orang lain, sebaliknya menindas dan mengeksploitasi orang lain. Egois tiada iltizam untuk berbakti kepada masyarakat dan menjalankan kerja sukarela. Menurut Ross (1998), egoisme tidak mengutamakan kemurahan hati kerana mengejar kepentingan diri sendiri, sebaliknya dalam banyak kes, mungkin memudaratkan orang lain.
Lebih khusus lagi, kita boleh membentangkan beberapa penentangan lain terhadap falsafah moral atau etika Nietzsche. Pertama, Nietzsche mungkin jahil tentang hakikat kewujudan manusia atau sengaja menyalahtafsirkannya. Akibatnya, beliau berhujah berasaskan maklumat dan data yang salah. Misalnya, Nietzsche berpendapat, untuk memperoleh kecekapan dan kemajuan, mereka yang lemah mesti dieksploitasikan. Manusia juga tidak perlu bermasyarakat atau taat kepada autoriti, malah, hendaklah membenci pertubuhan atau organisasi.
Sejarah menunjukkan perlindungan kepada mereka yang lemah dan menderita tidak menjejaskan kemajuan, kekuatan dan kecekapan umat manusia dan menderita tidak menjejaskan kemajuan, kekuatan dan kecekapan umat manusia keseluruhannya. Kejayaan rakyat Jepun pula, misalnya kerana kesetiaan kepada maharaja mereka. Mereka yang kuat dan berkuasa juga tidak semestinya membenci organisasi.
Nietzsche juga menentang pengorbanan diri seperti yang diamalkan oleh tentera Jepun (kamikazi) kerana menurut beliau, unsur ini boleh menyebabkan manusia reput dan mundur (mengurangkan jumlah komuniti). Pada kita ini tidak benar. Sebaliknya manusia seperti binatang liar dan buas akan berbunuhan sesama sendiri jika pengorbanan diri tidak dipraktikkan.
Satu lagi hujah menyokong pengorbanan diri dan menentang kepentingan diri ialah pembawaan atau sifat semula jadi jiwa manusia, oleh itu, tidak patut dimusnahkan.
Pengertian Nilai dan Etika
Cendekiawan dan ahli falsafah memberi pengertian yang pelbagai mengenai nilai dan etika. Menurut kamus Dewan nilai bererti prinsip moral, kepercayaan dan juga harga diri . Suffean Hussin merujuk nilai kepada mutu, faedah, kepentingan, dan ‘valuableness” sesuatu tingkah laku, pegangan, amalan, aktiviti dan objek.
Umumnya nilai adalah satu ideal atau konsep yang wujud dalam pemikiran manusia yang menggambarkan pelbagai darjah perlakuan umpamanya, kecantikan, kemuliaan, keikhlasan, dan keefisienan yang dijadikan pegangan dan yang membantu mengarahkan manusia membuat keputusan atau menetapkan yang mana baik dan yang tidak baik. Nilai dijadikan pilihan ke arah mencapai matlamat akhir.
Etika berasal daripada perkataan ‘ethics’ yang diambil daripada perkataan ‘ethos’ yang membawa maksud sikap dan adat yang menentukan tingkah laku sesuatu golongan. Kamus Dewan Bahasa Pustaka mendefinisikan Etika sebagai suatu sistem dasar akhlak, adat atau tingkah laku atau kesusilaan. Etika boleh dibahagikan kepada 2 iaitu Normatik yang merujuk kepada panduan dan peraturan yang berkaitan dengan tingkah laku yang baik dan jahat; manakala Metaethic pula dibahagikan kepada dua iaitu Analitik yang berkaitan dengan menganalisis semua peraturan yang berkaitan tingkah laku baik dan jahat, dan Kritikal yang berkaitan dengan mengkritik terhadap apa-apa yang telah dianalisis. Dengan lain perkataan,etika dapat didefinisikan sebagai sains moral dan prinsip-prinsip moral.
Teori Teleologikal
Golongan yang mengatakan bahawa tiada pertalian antara peraturan masyarakat (kemoralan sosial) serta keperibadian mulia dengan etika, biasanya lebih cenderung berfikir sendiri tentang kriteria moral. Oleh itu, mereka telah berfalsafah dan akhirnya menghasilkan beberapa teori etika yang mengutamakan atau berasaskan prinsip tertentu. Tetapi prinsip etika itu berbeza dan bertentangan. Bab ini akan mendedahkan serta membuat sedikit ulasan atau kritikan terhadap dua prinsip etika yang boleh disifatkan sebagai teleologi.
Teori teleologi menegaskan bahawa kriteria dan piawai asas tentang sesuatu yang benar, baik, salah, jahat, dan sebagainya ialah penghasilan nilai moral yang dianggap baik. Bagi teori ini, kebaikan atau kejahatan sesuatu ditentukan oleh nilai instrumentalnya. Seterusnya, sesuatu tindakan atau peraturan dianggap bermoral jika jumlah kebaikan yang dihasilkan melebihi kejahatan.
Teori Etika Teleologikal yang juga dikenali dengan ‘consequentialism’ adalah sejenis teori yang mendakwa bahawa semada sesuatu tindakan secara moral itu betul atau salah adalah bergantung sepenuhnya kepada akibat (consequences) atau hasil daripada sesuatu tindakan. Setiap tindakan yang mendatangkan kesan yang baik adalah tindakan beretika . Contohnya kalau seseorang itu mencuri wang daripada seseorang yang kaya dan kedekut dan kemudian di agihkan kepada si miskin di anggap baik, kerana bilangan orang yang beruntung adalah melebihi daripada seseorang kaya yang kena curi. Seseorang itu dianggap tidak beretika dianggap tidak beretika apabila tindakannya menolong orang buta melintasi jalan raya, tetapi berkesudahan dengan kecelakaan.
Bagaimanapun, ahli teleologi mempunyai pandangan yang berbeza tentang apa yang dikatakan baik dan jahat serta kebaikan siapa yang hendak dimajukan. Ini menyebabkan Wujudnya beberapa jenis teleologi yang berbeza seperti utilitarianisme dan egoisme.
Utilitarianisme
Etika utilitarianisme berpegang kepada prinsip bahawa seseorang itu sepatutnya melakukan sesuatu tindakan yang akan menghasilkan kebaikan yang paling banyak kepada setiap orang atau kebahagiaan yang paling ramai. Kebahagiaan yang dimaksudkan ialah keseronokan (iaitu sesuatu yang bukan bersifat moral).
Seorang pengikut utilitarianisme yang terkemuka ialah John Stuart Mill (1806-1873). Mill (1964) memerihalkan utilitarianisme seperti berikut: Konsep utiliti atau Prinsip Kebahagiaan Terbanyak menekankan sesuatu perlakuan itu benar atau baik mengikut kadar atau perimbangan kebahagiaan yang dimajukan dan dihasilkan oleh perlakuan itu. Yang dimaksudkan dengan kebahagiaan ialah keseronokan yang dihajati dan tiadanya kesakitan, manakala kedudukan ialah kesakitan dan tiadanya keseronokan. Keseronokan (bebas daripada kesakitan) sahajalah natijah atau hasil yang benar, baik dan yang diidamkan.
Warnock (1979) pula berpendapat bahawa perkataan utilitarian dicipta oleh Jeremy Bentham (1748-1832). Oleh itu, Bentham telah dianggap sebagai pengasas prinsip utiliti dalam perbahasan moral. Sesungguhnya, Bentham(1970) mengatakan bahawa manusia dikuasai dan dipengaruhi keseronokan serta kesakitan, manakala kemoralan ialah usaha mencari kebahagiaan, iaitu keseronokan.
Quinton (1973), misalnya, menganggap individu yang memegang prinsip utilitarianisme sebagai mereka yang bersetuju bahawa kebaikan sesuatu tindakan atau perlakuan ditentukan oleh nilai natijah daripada tindakan itu sendiri. Penentuan nilai berkenaan ialah keseronokan dan kesakitan yang wujud bersamanya.
Sebelum ulasan dibuat terhadap etika utilitarianisme, untuk memperjelaskan teori etika ini eloklah isu moral berkaitan peperangan diambil sebagai contoh. Bagi utilitarianisme, dalam memutuskan kemoralan melancarkan peperangan tertentu menerusi cara berperang tertentu, seseorang itu mesti menimbangkan kemudahan dan kebaikan yang mungkin dihasilkan oleh peperangan itu. Jika kemudaratan itu dijangka melebihi apa-apa akibat yang baik yang boleh dinikmati negara yang melancarkan peperangan itu (walaupun negara berkenaan menang), menurut etika utilitarianisme, peperangan itu tidak boleh di justifikasikan. Sebaliknya, peperangan serta cara peperangan itu dikendalikan dianggap wajar dari segi moral oleh etika utilitarianisme jika hasilnya membawa kebahagiaan dan kebaikan lebih daripada kesengsaraan dan penderitaan.
Justeru itu, utilitarianisme akan menyokong tindakan mengebom bandar bandar di Jerman (walaupun ramai yang tidak berdosa terkorban)
untuk menamatkan Perang Dunia Kedua kerana jika pihak Nazi menang, dunia ini akan kehilangan sifat ke manusiaannya dan kezaliman akan berleluasa. Walau apa pun, yang menjadi masalah ialah setiap negara yang pernah berperang selalunya mendakwa mereka berbuat demikian untuk menegakkan kebenaran bagi kebaikan dunia, manakala cara serta alat peperangan canggih yang digunakan adalah wajar dari segi moral!
Berbalik kepada penerangan Bentham dan Mill di atas, kita bolehlah menganggap penerangan Bentham dan Mill sebagai pengalaman keseronokan mestilah dimaksimumkan dan kesakitan diminimumkan. Jika inilah halnya prinsip utiliti, dalam meminimumkan kesakitan, akan membenarkan kita dalam situasi tertentu untuk melakukan perkara tidak baik atas alasan perlu bagi menyekat berlakunya sesuatu yang lebih buruk. Misalnya, kita akan dibenarkan mendera dengan keras seseorang yang telah membuat kesalahan, malahan menghukum orang yang tidak bersalah (scapegoat) jika ini perlu dan mencukupi untuk mengelakkan kekacauan, kerugian, kerosakan, kejahatan atau kecelakaan lebih besar.
Begitu juga untuk memaksimumkan keseronokan, sesuatu perlakuan yang melibatkan bercakap bohong, tidak menepati janji dan sebagainya yang boleh membawa kebahagiaan kepada 10 orang, akan diutamakan daripada perlakuan lain yang dapat menjana jumlah kebahagiaan yang sama hanya kepada sembilan orang walaupun perlakuan yang kedua ini tidak melibatkan perkara tidak baik seperti bercakap bohong.
Sekali lagi, atas prinsip memaksimumkan kebahagiaan, dalam mengagihkan sesuatu seperti wang atau barang kepada sekumpulan manusia, orang yang paling iri hati atau tamak sepatutnya mendapat lebih. Ini kerana orang biasa mudah bersyukur, tetapi orang yang iri hati atau tamak mesti mahu lebih daripada orang lain, barulah mereka berpuas hati, seronok dan bahagia.
Tetapi semua contoh minimumkan kesakitan dan memaksimumkan keseronokan, sebenarnya tidak adil dan berat sebelah. Oleh itu, mestilah diakui bahawa konsep utiliti dengan, mudah boleh berkonflik dengan prinsip keadilan.
Kerumitan mendamaikan utiliti dengan keadilan (suatu prinsip atau virtue moral yang asas) bukan sahaja boleh menjadikan prinsip utiliti itu sebagai asas koral atau etika yang memuaskan.
Aspek lain dalam prinsip utiliti dalam teori ini yang masih boleh diperbaiki.
Pertama
Keseronokan dan kesakitan ialah perasaan. Perasaan adalah subjektif. Seperti yang dinyatakan oleh Durkhein (1968), keseronokan atau kebahagiaan pada hakikatnya ialah suatu perasaan atau pengalaman yang subjektif yang setiap orang menikmatinya mengikut kehendak sendiri.
Oleh itu, prinsip utiliti tidak bersifat objektif tetapi subjektif atau relatif seperti juga prinsip simpati atau antipati yang telah dikritik oleh Bentham. Beliau mengkritik dan memburuk-burukkan prinsip utilitinya.
Kedua
Kerosakan dan kesakitan bukan sahaja subjektif, tetapi sesuatu yang disangsikan atau kabur. Mereka yang berfahaman utilitarianisme percaya bahawa kerosakan dan kesakitan adalah sendiri. Dan semua sensasi hanya boleh digolongkan kepada kerosakan da kesakitan. Tetapi ramai pengkritik utilitarianisme berpendapat bahawa semua kepercayaan dan anggapan itu tidak tepat.
Parekh (1974), misalnya berhujah bahawa ada keadaan minda yang tidak boleh diterangkan dengan betul dan tepat bagi menggambarkan keseronokan atau kesakitan.
Menurutnya, terdapat sensasi yang belum tercapai intensiti atau keamanan minimum tertentu, sungguhnya bukan sensasi keseronokan atau sensasi kesakitan dan terdapat sensasi yang enak dan enak dan kurang menyenangkan tetapi tidak menyakitkan. Contohnya seseorang itu sakit kepalanya. Terdapat pula sensasi yang menyakitkan tetapi tidak semestinya merunsingkan atau tidak menyenangkan. Misalnya seorang ibu melahirkan anaknya.
Ketiga
Prinsip utiliti menggambarkan manusia hanya sebagai pemburu keseronokan atau manusia itu secara naluri semestinya membenci kesakitan. Dalam hal ini, terdapat juga hujah yang boleh dikemukakan untuk menunjukkan bahawa gambaran tentang manusia ini tidak tepat.
Masochists misalnya berpendapat bahawa menikmati dan suka kepada kesakitan atau mendapat kepuasan daripada kesakitan yang dilakukan terhadap dirinya sendiri. Mereka merasai, mengalami atau menanggung keperitan dan kesakitan kerana mendapat kerosakan daripada kesakitan itu. Mungkin ada juga orang lain yang menanggung kesakitan hanya kerana mereka hendak merasainya, bukan kerana menginginkannya dan insan ini tidak mendapat sebarang keseronokan daripada apa yang dialaminya.
Nietzsche (1968) juga menentang idea bahawa manusia menjauhkan diri daripada kesakitan, iaitu membenci kesakitan. Beliau mengatakan bahawa untuk berusaha mendapatkan kuasa, manusia mesti mengatasi rintangan dan menempuh halangan.
Ini ditafsirkan oleh beliau sebagai mengejar atau memburu kuasa melalui kesakitan. Oleh itu, kesakitan ialah sesuatu yang wujud dalam alam ini sebagai sifat atau bahagian yang tetap dan semula jadi. Kesakitan tidak perlu dielakkan tetapi mesti diatasi untuk mencapai kuasa. Beliau juga menggambarkan kesakitan sebagai ‘bapa‘ kepada segala keseronokan serta pendahuluan kepada segala keseronokan kerana kesakitan ialah pengalaman mengatasi sesuatu rintangan atau halangan.
Dalam pernyataan prinsip utiliti ini, terdapat dua istilah lain yang perlu juga diteliti. Pertama ialah istilah kebaikan. menurut prinsip utiliti, pengalaman keseronokan mestilah dikaitkan dengan kebaikan dan pengalaman kesakitan dikaitkan dengan kejahatan. Kita sepatutnya menentang pengenalpastian kebaikan dengan keseronokan kerana ada nilai lain yang berkait dengan kebaikan yang lebih patut dianggap sebagai matlamat hidup. Contohnya, kebebasan, kesihatan, ilmu. pengetahuan dan kualiti lain yang menjadikan kehidupan itu berharga.
Kesemuanya ini boleh kita akui sebagai lebih penting berbanding dengan keseronokan dan sesuatu yang benar benar baik dan segi moral. Patut juga ditekankan bahawa terdapat keseronokan yang jahat dan hasad kerana ada manusia atau dengan kata lain sadist yang berasa seronok membunuh dan menyeksa orang lain atau memusnahkan harta benda orang, misalnya.
Umumnya, perlakuan ini dianggap sebagai tidak baik, tetapi jika seseorang itu menikmati keseronokan melakukannya, perlakuan orang itu pasti lebih dahsyat berbanding jika dia melakukannya atas sebab lain. Misalnya, menyeksa orang lain kerana hendak mendapatkan sesuatu daripada pihak musuh mungkin tidak sejahat menyeksa seseorang kerana keseronokan.
Seterusnya ialah istilah kebahagiaan. Prinsip utiliti turut menyamakan keseronokan dengan kebahagiaan. Ini juga sukar diterima kerana sebenarnya kedua dua istilah itu patut dibezakan. Menurut Frankena (1973), 'keseronokan' membayangkan perasaan yang agak khusus sedangkan 'kebahagiaan' tidak demikian. Berbeza dengan 'kebahagiaan', 'keseronokan' membayangkan sensasi 'rendah' atau sensasi fizikal, iaitu sesuatu yang tidak mendalam atau berpanjangan berbanding dengan kepuasan jangka panjang dan lebih mendalam yang terdapat, pada. ‘kebahagiaan’.
Selain itu, ungkapan seperti 'kehidupan yang menyeronokkan' menggambarkan sesuatu yang agak berbeza daripada rangkai kata 'kehidupan yang membahagiakan'. Oleh itu jika kita bersetuju dengan ciri-ciri keseronokan di atas, dengan menegaskan bahawa keseronokan ialah kebahagiaan, keraguan kita akan bertambah tentang sama ada kebahagiaan mesti dilihat sebagai tujuan utama kehidupan manusia atau tidak.
Akhir sekali, utilitarianisme membayang bahawa tidak kira maksud tindakan itu baik atau jahat, kedua-duanya boleh disukat. Dari segi kuantiti pula, yang paling baik dan jahat mestilah boleh diimbangi. Behtham bertanggung jawab dalam usaha menghasilkan suatu ‘kalkulus hedonok’ bagi keseronokan dan kesakitan dengan menggunakan tujuh keadaan atau demensi, iaitu intensiti keseronokan atau kesakitan; jangka masanya;ketentuan atau ketidakpastiannya; keadaan dekat atau terpencilnya; sifat kebaikannya; ketulenan dan takutnya. Empat dimensi yang pertama hendaklah diambil kira dalam menilai keseronokan dan kesakitan.
Perkiraan ini hanya merujuk seseorang insan dan bagi sesuatu keseronokan atau kesakitan. Tetapi apabila keseronokan atau kesakitan lain dipertimbang, dimensi kelima dan keenam hendaklah diambil kira. Dimensi ketujuh pula dipertimbang apabila perkiraan ini melibatkan lebih seorang insan. Untuk mendapatkan perkiraan tepat terhadap kecenderungan am sesuatu perlakuan yang melibatkan sesuatu komuniti terhadap kepentingan sesuatu komuniti, Bentham mengemukakan suatu proses atau arahan yang terlalu panjang untuk dihuraikan di sini.
Tentang kalkulus hedonik Bentham (ialah proses menyukat keseronokan dan kesakitan), perlu ditegaskan bahawa 'proses ini ialah suatu urusan yang sukar kerana menghadapi berbagai bagai masalah. Pertama, kerana tiada manusia yang boleh memberikan jumlah perasaannya dengan tepat. Contohnya intensiti keseronokan atau kesakitan yang dirasai seseorang sukar disukat. Satu lagi masalah ialah setiap orang mengalami keseronokan dan kesakitan yang tidak sama dari segi mutu dan tahapnya.
Bentham sendiri mengatakan bahawa terdapat 14 jenis keseronokan dan 12 jenis kesakitan yang berbeza antara satu sama lain dari segi kualitinya. Dan menyedari hal ini Mill (1964) berkata, tidak munasabah jika dalam menaksir dan menyukat keseronokan atau kesakitan, perkiraan hanya bergantung kepada kuantiti sedangkan dalam menilai unsur lain, kuantiti dan kualiti diambil kira. Oleh sebab kualiti mempengaruhi nilai, timbullah pertanyaan sama ada seseorang itu boleh membuat perbandingan kuantitatif antara keseronokan dengan kesakitan yang tidak serupa dari segi kualiti.
Selain itu, terdapat kerumitan menyukat kuantiti keseronokan dan kesakitan seseorang, pada masa yang berlainan dan berkait dengan pengalaman yang berbeza. Kalkulus hedonik juga membandingkan perasaan individu yang berbeza. Tetapi menurut Mackie (1979), sukatan antara orang perseorangan menimbulkan kerumitan yang lebih besar.
Bagaimanapun, Bentham yang menyedari masalah ini, telah menghuraikan perbincangannya dengan memperkenalkan 32 situasi yang mempengaruhi perasaan. Tetapi kerana situasi itu sendiri wujud dalam jumlah gabungan yang tidak terhad, keadaan ini tidak dapat membantu kita bagi membandingkan perasaan individu yang berbeza terhadap keseronokan atau kesakitan. Tegasnya, terdapat kerumitan yang tidak boleh diatasi untuk menyukat atau mengimbangi keseronokan dan kesakitan. Oleh itu, kenyataan ini merupakan suatu tentangan yang serius terhadap kekuatan prinsip utiliti.
Daripada keseluruhan perbincangan kita tentang prinsip utiliti, kesimpulannya ialah kita mesti berjaga jaga dan berwaspada dalam menerima fahaman atau pendapat utiliti sebagai suatu prinsip etika mahupun pegangan dalam kehidupan. Ini kerana prinsip etika yang di kemukakan masih tidak kukuh dan masih boleh dipertikaikan oleh orang lain mahupun pihak lain.
Egoisme.
Ahli falsafah Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844 1900) ialah seorang ahli falsafah yang mengkritik utilitarianisme. Bagaimanapun, beliau lebih kuat menentang kemoralan sosial iaitu yang berasaskan tradisi dan peraturan masyarakat.
Ahli falsafah ini pernah menggambarnya kemoralan sosial, terutara etika agama Nasrani dan Yahudi, sebagai ciptaan hamba abdi ( slave morality atau herd morality). Dalam buku On the Genealogy of Morals and Ecc Homo, beliau menyentuh asal usul kemoralan hamba abdi ini. Dalam penerangannya, Nietzche pertamanya mengenal pasti dua kumpulan manusia, iaitu orang biasa atau rakyat jelata dan kumpulan tuan. Kumpulan tuan biasanya terdiri dari golongan bangsawan.
Menurut Nietzsche pertamanya rakyat jelata lemah dan tidak berdaya walaupun dari segi bilangan, lebih ramai. Kaum bangsawan pula, sungguhpun mereka kaum minoriti, adalah kuat, individualistik dan mempunyai iradat atau tekat untuk berkuasa dan bebas. Tekad untuk berkuasa ini merupakan tekad kaum bangsawan untuk hidup sebagai overman atau superman, iaitu individu yang ingin mencapai serta menikmati kemoralan ketuanan ( master morality).
Oleh sebab itu mereka lemah dan miskin, rakyat jelata ingin melindungi diri mereka daripada diekploitasi oleh kaum bangsawan yang berkuasa itu. Menurut Nietzsche, rakyat jelata biasanya berasa sakit hati dan menyimpan dendam terhadap kemoralan ketuanan yang dianuti kaum bangsawan. Rakyat jelata yang sentiasa menentang bangsawan akhirnya berjaya mendesak golongan itu mengkaji semula pendirian nilai mereka. Akhirnya kaum bangsawan mula mempercayai dan menganggap bahawa ‘baik’ bukanlah bermaksud ‘bangsawan’ tetapi ‘baik’ ialah ‘mengasihi dan menurut segala perintah Tuhan’.
Kaum bangsawan, berikutan penentangan rakyat jelata, mula melihat diri mereka sendiri mereka sendiri sebagai buruk dan durjana. Mereka akhirnya menganggap bahawa nilai asal mereka ( individualisme atau egoisme) sebagai salah dan terkutuk. Piawai dan ukuran baik dan jahat kaum bangsawan sekarang sudah menjadi piawai baik dan durjana bagi rakyat jelata.
Perubahan nilai kaum bangsawan di atas telah dihasilkan dengan berkesan oleh rakyat jelata dengan memperkenalkan peraturan moral yang mengandungi konsep serta pengorbanan diri, rasa bersalah suara batin dendaan pahala dan dosa serta kepercayaan agama.
Menurut Nietzsche, mencipta tuhan atau menyedarkan wujudnya Tuhan dan agama yang melindungi dan menjadikan peraturan moral rakyat jelata kekal dan universal, lahir daripada pemberontakan agung golongan majoriti ini terhadap ketuanan nilai bangsawan. Rakyat jelata telah berjaya menjadikan etika dan kemoralan atau perkara salah dan benar itu sebagai berpunca daripada perundangan tuhan.
Usaha rakyat biasa memutlakkan peraturan moral mereka dengan mengaitkan autoriti agama atau Tuhan telah ditentang oleh Nietzsche kerana menurutnya, perkara ini merupakan perkembangan ke arah kemoralan hamba abdi yang merendahkan martabat manusia seperti binatang peliharaan atau pun binatang gembala. Beliau berpendapat bahawa keadaan wujudnya manusia masih dalam proses pengubahsuaian dan belum lagi menguasai persekitarannya.
Oleh itu, bergantung kepada keadaan dan apabila ada peluang, peraturan moral yang digubal dengan sewenang wenangnya oleh rakyat biasa hendaklah ditentang dan diubah bagi menjamin kemajuan dan kecekapan kaum bangsawan. Oleh sebab pendapat teori ini yang menyatakan Tuhan dan agama ciptaan rakyat biasa melindungi peraturan moral daripada perubahan, kepercayaan itu ialah musuh kehidupan dan kebenaran bagi mereka. Dengan ini, konsep pahala dan dosa telah ditolak oleh mereka.
Sebaliknya, dalam usaha menjadi superman, maju dan cekap, individu mesti menentang pengorbanan diri dan menggantikannya dengan pemeliharaan diri, pengasihan diri, pembesaran diri, kepentingan diri dan ego. Individu mesti juga memulihkan tekadnya untuk berkuasa, iaitu naluri semula jadinya yang membolehkan dia membezakan unsur yang boleh menguntungkan berbanding dengan yang merugikannya dan kemudian menekan, menguasai serta mengeksploitasi unsur itu.
Seperti yang diterangkan di atas, tekad untuk berkuasa mestilah ditafsirkan juga sebagai tekad untuk hidup. Menurut Nietzsche, mengeksploitasi rakyat biasa dan bukannya pengorbanan diri malah dasar atau hakikat kehidupan. Sebagai rumusan, ahli falsafah ini ialah seorang egois yang mahu melihat kaum bangsawan (sebagai manusia yang individualistik) menjadi tuan kepada kod etika, peraturan dan undang undang moral. Beliau mendesak agar kaum bangsawan dan egois bangkit semula dan berkuasa dalam lapangan moral.
Pendapat atau falsafah Nietzsche yang diterangkan dengan ringkas di atas tentu sekali ditentang oleh mereka yang beragama. Bagi penentang falsafah ini, Nietzsche dianggap sebagai ateis yang tidak bermoral. Nietzsche juga ditentang oleh pendukung demokrasi serta mereka yang berjiwa masyarakat dan berfikiran sivik.
Sesungguhnya, egois biasanya mementingkan diri sendiri sahaja dan tidak mengambil kira kepentingan orang lain, sebaliknya menindas dan mengeksploitasi orang lain. Egois tiada iltizam untuk berbakti kepada masyarakat dan menjalankan kerja sukarela. Menurut Ross (1998), egoisme tidak mengutamakan kemurahan hati kerana mengejar kepentingan diri sendiri, sebaliknya dalam banyak kes, mungkin memudaratkan orang lain.
Lebih khusus lagi, kita boleh membentangkan beberapa penentangan lain terhadap falsafah moral atau etika Nietzsche. Pertama, Nietzsche mungkin jahil tentang hakikat kewujudan manusia atau sengaja menyalahtafsirkannya. Akibatnya, beliau berhujah berasaskan maklumat dan data yang salah. Misalnya, Nietzsche berpendapat, untuk memperoleh kecekapan dan kemajuan, mereka yang lemah mesti dieksploitasikan. Manusia juga tidak perlu bermasyarakat atau taat kepada autoriti, malah, hendaklah membenci pertubuhan atau organisasi.
Sejarah menunjukkan perlindungan kepada mereka yang lemah dan menderita tidak menjejaskan kemajuan, kekuatan dan kecekapan umat manusia dan menderita tidak menjejaskan kemajuan, kekuatan dan kecekapan umat manusia keseluruhannya. Kejayaan rakyat Jepun pula, misalnya kerana kesetiaan kepada maharaja mereka. Mereka yang kuat dan berkuasa juga tidak semestinya membenci organisasi.
Nietzsche juga menentang pengorbanan diri seperti yang diamalkan oleh tentera Jepun (kamikazi) kerana menurut beliau, unsur ini boleh menyebabkan manusia reput dan mundur (mengurangkan jumlah komuniti). Pada kita ini tidak benar. Sebaliknya manusia seperti binatang liar dan buas akan berbunuhan sesama sendiri jika pengorbanan diri tidak dipraktikkan.
Satu lagi hujah menyokong pengorbanan diri dan menentang kepentingan diri ialah pembawaan atau sifat semula jadi jiwa manusia, oleh itu, tidak patut dimusnahkan.
Senin, 10 Januari 2011
TRANSPLANTASI ORGAN
Transplantasi Organ Tubuh
oleh: Romo William P. Saunders *
Pada umumnya, Gereja Katolik memperkenankan transplantasi organ tubuh. Dalam ensiklik “Evangelium Vitae” (= Injil Kehidupan), Bapa Suci Yohanes Paulus II menyatakan, “… ada kepahlawanan harian, yang terdiri dari amal perbuatan berbagi sesuatu, besar atau kecil, yang menggalang kebudayaan hidup yang otentik. Teladan amal perbuatan yang secara khas layak dipuji seperti itu ialah pendermaan organ-organ, yang dilaksanakan melalui cara yang dari sudut etika dapat diterima, dengan maksud menawarkan kemungkinan kesehatan dan bahkan hidup sendiri kepada orang sakit, yang kadang sudah tidak mempunyai harapan lain lagi” (No. 86). Ajaran ini menggemakan Katekismus Gereja Katolik: “Transplantasi sesuai dengan hukum susila dan malahan dapat berjasa sekali, kalau bahaya dan resiko fisik dan psikis, yang dipikul pemberi, sesuai dengan kegunaan yang diharapkan pada penerima” (No. 2296). Guna memahami ajaran ini dengan lebih baik, marilah kita bergerak selangkah demi selangkah. Perlu dicatat bahwa masalah ini pertama kali dibahas dengan jelas oleh Paus Pius XII pada tahun 1950-an, dan kemudian disempurnakan sesuai dengan kemajuan-kemajuan yang berhasil dicapai dalam bidang medis.
Pertama-tama, dibedakan antara transplantasi organ tubuh (termasuk jaringan) dari seorang yang telah meninggal dunia ke seorang yang hidup, versus transplantasi organ tubuh (termasuk jaringan) dari seorang yang hidup ke seorang lainnya. Dalam kasus pertama, yaitu apabila donor organ tubuh adalah seorang yang telah meninggal dunia, maka tidak timbul masalah moral. Paus Pius XII mengajarkan, “Seorang mungkin berkehendak untuk mendonorkan tubuhnya dan memperuntukkannya bagi tujuan-tujuan yang berguna, yang secara moral tidak tercela dan bahkan luhur, di antaranya adalah keinginan untuk menolong mereka yang sakit dan menderita. Seorang dapat membuat keputusan akan hal ini dengan hormat terhadap tubuhnya sendiri dan dengan sepenuhnya sadar akan penghormatan yang pantas untuk tubuhnya…. Keputusan ini hendaknya tidak dikutuk, melainkan sungguh dibenarkan” (Amanat kepada Kelompok Spesialis Mata, 14 Mei 1956).
Pada dasarnya, apabila organ-organ tubuh dari seorang yang telah meninggal dunia, seperti ginjal, hati, kornea mata, dapat menolong menyelamatkan atau memperbaiki hidup seorang lainnya yang masih hidup, maka transplantasi yang demikian adalah baik secara moral dan bahkan patut dipuji. Patut dicatat bahwa donor wajib memberikan persetujuannya dengan bebas dan penuh kesadaran sebelum wafatnya, atau keluarga terdekat wajib melakukannya pada saat kematiannya: “Transplantasi organ tubuh tidak dapat diterima secara moral, kalau pemberi atau yang bertanggung jawab untuk dia tidak memberikan persetujuan dengan penuh kesadaran” (No. 2296).
Satu peringatan perlu disampaikan di sini: Keberhasilan suatu transplantasi organ tubuh sangat bergantung pada kesegaran organ, artinya bahwa prosedur transplantasi harus dilakukan sesegera mungkin begitu donor meninggal dunia. Namun demikian, donor tidak boleh dinyatakan meninggal dunia secara dini atau kematiannya dipercepat hanya agar organ tubuhnya dapat segera dipergunakan. Kriteria moral menuntut bahwa donor sudah harus meninggal dunia sebelum organ-organ tubuhnya dipergunakan untuk transplantasi. Demi menghindari konflik antar kepentingan, Uniform Anatomical Gift Act memprasyaratkan, “Saat kematian hendaknya ditetapkan oleh dokter yang mendampingi donor pada saat kematiannya, atau, jika tidak ada, dokter yang menyatakan kematiannya. Dokter tersebut tidak diperkenankan untuk ikut ambil bagian dalam prosedur pengambilan atau transplantasi organ tubuh” (Section 7 (b)). Meski peraturan ini tidak mendatangkan dampak atas moralitas transplantasi organ tubuh itu sendiri, namun martabat orang yang menghadapi ajal wajib dilindungi, dan mempercepat kematian atau mengakhiri hidupnya demi mendapatkan organ-organ tubuhnya untuk kepentingan transplantasi adalah amoral. Di sini, sekali lagi Katekismus Gereja Katolik mengajarkan, “Langsung menyebabkan keadaan cacat atau kematian seseorang, selalu dilarang secara moral, meskipun dipakai untuk menunda kematian orang lain” (No. 2296), suatu point yang digarisbawahi oleh Bapa Suci.
Transplantasi organ tubuh dari seorang donor hidup ke seorang lainnya jauh lebih rumit. Kemampuan untuk melakukan transplantasi ginjal yang pertama kali pada tahun 1954 menimbulkan suatu debat sengit di antara para teolog. Debat berfokus pada prinsip totalitas - di mana dalam keadaan-keadaan tertentu seorang diperkenankan untuk mengorbankan salah satu bagian atau salah satu fungsi tubuhnya demi kepentingan seluruh tubuh. Sebagai contoh, seorang diperkenankan mengangkat suatu organ tubuh yang sakit demi memelihara kesehatan seluruh tubuhnya, misalnya mengangkat rahim yang terserang kanker. Namun demikian, para teolog ini berargumentasi bahwa seorang tidak dapat dibenarkan mengangkat suatu organ tubuh yang sehat dan mendatangkan resiko masalah kesehatan di masa mendatang apabila hidupnya sendiri tidak berada dalam bahaya, misalnya pada kasus seorang mengorbankan sebuah ginjal yang sehat untuk didonorkan kepada seorang yang membutuhkan. Operasi yang demikian, menurut mereka, mendatangkan pengudungan yang tidak perlu atas tubuh dan karenanya amoral.
Sebagian teolog lainnya beragumentasi dari sudut pandang belas kasih persaudaraan, yaitu bahwa seorang yang sehat yang mendonorkan sebuah ginjal kepada seorang yang membutuhkan, melakukan suatu tindakan pengorbanan yang sejati demi menyelamatkan nyawa orang. Kemurahan hati yang demikian sesuai dengan teladan Tuhan Sendiri di salib, dan merefleksikan ajaran-Nya pada saat Perjamuan Malam Terakhir, “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh 15:12-13). Menurut para teolog ini, korban yang demikian secara moral dapat diterima apabila resiko celaka pada donor, baik akibat operasi itu sendiri maupun akibat kehilangan organ tubuh, proporsional dengan manfaat bagi si penerima.
Bergerak dari alasan ini, para teolog yang “pro-transplantasi” mempertimbangkan kembali prinsip totalitas. Mereka mengajukan argumentasi bahwa meski transplantasi organ tubuh dari donor hidup tidak melindungi keutuhan anatomis atau fisik (yakni adanya kehilangan suatu organ tubuh yang sehat), namun sungguh memenuhi totalitas fungsional (yakni terpeliharanya fungsi dan sistem tubuh sebagai suatu kesatuan). Sebagai contoh, seorang dapat mengorbankan satu ginjalnya yang sehat (adanya kehilangan dalam keutuhan anatomis) dan masih dapat memelihara kesehatan dan fungsi tubuh yang layak dengan ginjal yang tersisa; donor yang demikian secara moral diperkenankan. Tetapi, dengan alasan yang sama, seorang tidak dapat mengorbankan satu matanya untuk diberikan kepada seorang buta, sebab tindakan yang demikian menganggu fungsi tubuhnya.
Paus Pius XII setuju dengan pemahaman belas kasihan ini dan juga tafsiran yang lebih luas dari prinsip totalitas; sebab itu beliau memaklumkan transplantasi organ tubuh dari seorang donor hidup secara moral diperkenankan. Bapa Suci menggarisbawahi point bahwa donor mempersembahkan korban diri demi kebaikan orang lain. Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan point ini, “… Setiap transplantasi organ tubuh bersumber dari suatu keputusan yang bernilai luhur: yakni keputusan untuk memberi satu bagian dari tubuhnya sendiri tanpa imbalan demi kesehatan dan kebaikan orang lain. Di sinilah tepatnya terletak keluhuran tindakan ini, suatu tindakan yang adalah tindakan kasih sejati. Bukan sekedar memberikan sesuatu yang adalah milik kita, melainkan memberikan sesuatu yang adalah diri kita sendiri….” (Amanat kepada Partisipan dalam Kongres Transplantasi Organ, 20 Juni 1991, No. 3).
Namun demikian, transplantasi organ tubuh dari seorang donor hidup kepada seorang yang lain wajib memenuhi empat persyaratan: (1) resiko yang dihadapi donor dalam transplantasi macam itu harus proporsional dengan manfaat yang didatangkan atas diri penerima; (2) pengangkatan organ tubuh tidak boleh mengganggu secara serius kesehatan donor atau fungsi tubuhnya; (3) perkiraan penerimaan adalah baik bagi si penerima, dan (4) donor wajib membuat keputusan dengan penuh kesadaran dan bebas dengan mengetahui resiko yang mungkin terjadi.
Dalam tulisan selanjutnya, kita akan melanjutkan pembahasan kita mengenai transplantasi organ tubuh dengan memeriksa beberapa masalah yang mendatangkan dampak atas moralitas.
EUTHANASIA
Eutanasia menurut KBBI adalah tindakan mengakhiri dengan sengaja kehidupan makhluk (orang ataupun hewan peliharaan) yang sakit berat atau luka parah dengan kematian yang tenang dan mudah atas dasar kemanusiaan.
Kata Eutanasia sendiri berasal dari Yunani yaitu Eu artinya baik dan Thanatos artinya kematian.. maka kurang lebih dapat berarti kematian yang baik.
Keberadaan Eutanasia ini selalu menjadi pro dan kontra. Ada yang menyetujui, ada yang menolak.
Argume yang menyetujui:
- Eutanasia merupakan cara untuk menghilangkan rasa sakit parah.
- Eutanasia merupakan cara pelepasan ketika kualitas hidup orang tersebut sangat rendah.
- Juga merupakan kebebasan dalam memilih
Argumen yang tidak menyetujui:
- Eutanasia mendevaluasikan kehidupan manusia.
- Orang-orang medis seharusnya tidak terlibat secara langsung dengan yang menyebabkan kematian.
pelaksanaan Euthanasia dilihat dari sudut pandang makna:
- Eutanasia agresif: Tindakan ini sengaja dilakukan oleh dokter atau paramedis untuk mengakhiri hidup si pasien. Misalnya dengan memberi obat-obatan/ tablet sianida.
- Etanasia non-agresif: disebut juga dengan autoeuthanasia/ eutanasia otomatis. Merupakan eutanasia negatif. Maksudnya, sipasien dengan tegas dan dengan sadar menolak menerima perawatan medis, dan si pasien tersebut mengetahui bahwa dengan pemberhentian tindakan medis maka hal tersebut dapat memperpendek/mengakhiri hidupnya, dengan membuat codicil (pernyataan tertulis tangan).
- Etanasia pasif: dikategorikan sebagai eutanasia negatif juga. Pada eutanasia ini, dilakukan dengan menghentikan pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup si pasien. misalnya menghentikan alat penompang kehidupan.
Ada beberapa negara yang melegalkan Eutanasia ini.. contohnya adalah Belanda, Belgia, Luxemburg,, negara bagian oregon dan washington.
sedangkan di negara Inggris eutanasia merupakan praktek melanggar hukum.
Di Indonesia sendiri belum ada undang-undang yang mengatur tentang eutanasia. Praktek eutanasia pernah membuat heboh Indonesia, ketika pada tahun 2004 seorang yang bernama Hasan mengajukan eutanasia terhadap istrinya Agian yang mengalami koma selama 2 bulan setelah melahirkan,, meskipun ternyata tidak jadi dilakukan.
Kalau menurut gw,,untuk kasus-kasus tertentu mungkin eutanasia dapat dilaksanakan,, tetapi penggunaannya harus dikontrol dan diawasi sehingga tidak disalahgunakan dan tidak ada praktek terselubung yang mengatasnamakan eutanasia.
KEINGINAN TERHADAP PENGETAHUAN YANG BERTENTANGAN DENGAN FALSAFAH ,AGAMA,POLITIK,EKONOMI, DAN IDEOLOGI
KEINGINAN TERHADAP PENGETAHUAN YANG BERTENTANGAN DENGAN FALSAFAH ,AGAMA,POLITIK,EKONOMI, DAN IDEOLOGI
1)DARI SUDUT FALSAFAH :
Falsafah biasanya diartikan sebagai suatu pandangan dan pengetahuan yang mendasar, yang selanjutnya digunakan untuk mengembangkan dan membangun suatu persepsi atau asumsi tertentu tentang kehidupan.
CONTOH :
Pabrik rokok memproduksi rokok tapi disisi lain amsumsi agama adalah merokok diharamkan.
2)DARI SUDUT AGAMA
Kepercayaan orang orang itu berbeda beda.Dan orang lebih
percaya pada dukun daripada paramedis.
CONTOH:
seorang pasien yang memilih penghapusan dosa daripada
berobat kedokter.
3)DARI SUDUT POLITIK
Orang orang yang bergelut dalam dunia politik
lebih mempercayai dan mendengarkan saran
Dari keluarga, dan teman seprofesinya.
Contoh :
pengaruh terhadap anggota keluarga klien.Dan porstitusi sudah dilarang oleh kebijakan politik tetapi dari sisi ekonomi porstitusi masih ada.
4)DARI SUDUT EKONOMI
Proses pengobatan yang tidak sesuai dengan
taraf biaya.
Contoh :
Kemungkinan akibat sampingan yang tidak
dikehendaki.
•5) DARI SUDUT IDEOLOGI
•Suatu gagasan utama yang dimiliki oleh orang itu sendiri.
Contoh:
•Ada orang sakit panas tetapi dia lebih percaya selain non medis seperti daun dadap untuk menyembukhkan panas.
Falsafah biasanya diartikan sebagai suatu pandangan dan pengetahuan yang mendasar, yang selanjutnya digunakan untuk mengembangkan dan membangun suatu persepsi atau asumsi tertentu tentang kehidupan.
CONTOH :
Pabrik rokok memproduksi rokok tapi disisi lain amsumsi agama adalah merokok diharamkan.
2)DARI SUDUT AGAMA
Kepercayaan orang orang itu berbeda beda.Dan orang lebih
percaya pada dukun daripada paramedis.
CONTOH:
seorang pasien yang memilih penghapusan dosa daripada
berobat kedokter.
3)DARI SUDUT POLITIK
Orang orang yang bergelut dalam dunia politik
lebih mempercayai dan mendengarkan saran
Dari keluarga, dan teman seprofesinya.
Contoh :
pengaruh terhadap anggota keluarga klien.Dan porstitusi sudah dilarang oleh kebijakan politik tetapi dari sisi ekonomi porstitusi masih ada.
4)DARI SUDUT EKONOMI
Proses pengobatan yang tidak sesuai dengan
taraf biaya.
Contoh :
Kemungkinan akibat sampingan yang tidak
dikehendaki.
•5) DARI SUDUT IDEOLOGI
•Suatu gagasan utama yang dimiliki oleh orang itu sendiri.
Contoh:
•Ada orang sakit panas tetapi dia lebih percaya selain non medis seperti daun dadap untuk menyembukhkan panas.
Hubungan Ilmu Pengetahuan, Filsafat dan Agama.
a. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan.
Ilmu Sejarah telah dapat membuktikan tentang pengungkapan ilmiah manusia yang sangat menonjol di dunia adalah di zaman Yunani Kuno (abad IV dan V S.M). Bangsa Yunani ditakdirkan Allah sebagai manusia yang mempunyai akal jernih. Bagi mereka ilmu itu adalah suatu keterangan rasional tentang sebab-musabab dari segala sesuatu didunia ini. Dunia adalah kosmos yang teratur dengan aturan kausalitas yang bersifat rasional. Demikianlah tiga dasar yang menguasai ilmu orang Yunani pada waktu itu, yaitu: Kosmos, Kausalitas dan Rasional.
Pada hakikatnya kelahiran cara berfikir ilmiah itu merupakan suatu revolusi besar dalam dunia ilmu pengetahuan, karena sebelum itu manusia lebih banyak berpikir menurut gagasan-gagasan magi dan mitologi yang bersifat gaib dan tidak rasional.
Dengan berilmu dan berfilsafat manusia ingin mencari hakikat kebenaran daripada segala sesuatu Dalam berkelana mencari pengetahuan dan kebenaran itu menusia pada akhirnya tiba pada kebenaran yang absolut atau yang mutlak yaitu ‘Causa Prima’ daripada segala yang ada yaitu Allah Maha Pencipta, Maha Besar, dan mengetahui.
Oleh karena itu kita setuju apabila disebutkan bahwa manusia itu adalah mahluk pencari kebenaran. Di dalam mencari kebenaran itu manusia selalu bertanya.
Dalam kenyataannya makin banyak manusia makin banyaklah pertanyaan yang timbul. Manusia ingin mengetahui perihal sangkanparannya, asal mula dan tujuannya, perihal kebebasannya dan kemungkinan-kemungkinannya. Dengan sikap yang demikian itu manusia sudah menghasilkan pengetahuan yang luas sekali yang secara sistematis dan metodis telah dikelompokan kedalam berbagai disiplin keilmuwan. Namun demikian karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka sejumlah besar pertanyaan tetap relevan dan aktual seperti yang muncul pada ribuan tahun yang lalu, yang tidak terjawab oleh Ilmu pengetahuan seperti antara lain: tentang asal mula dan tujuan manusia, tentang hidup dan mati, tentang hakikat manusia sebagainya.
Ketidakmampuan Ilmu pengetahuan dalam menjawab sejumlah pertanyaan itu, maka Filasafat tempat menampung dan mengelolahnya. Filsafat adalah ilmu yang tanpa batas, tidak hanya menyelidiki salah satu bagian dari kenyataan saja, tetapi segala apa yang menarik perhatian manusia.
b. Definisi Ilmu Pengetahuan dan Filsafat
J. Arthur Thompson dalam bukunya” An Introducation to Science” menuliskan bahwa ilmu adalah diskripsi total dan konsisten dari fakta-fakta empiri yang dirumuskan secara bertanggung jawab dalam istilah- istilah yang sederhana mungkin.
Untuk menjelaskan perbedaan antara Ilmu Pengetahuan dan Filsafat, baiklah dikemukakan rumusan Filsafat dari filsuf ulung Indonesia Prof. DR. N. Driyarkara S.Y., yang mengatakan “Filsafat adalah pikiran manusia yang radikal, artinya yang dengan mengesampingkan pendirian-pendirian dan pendapat- pendapat yang diterima saja, mencoba memperlihatkan pandangan yang merupakan akar dari lain-lain pandangan dan sikap praktis. Jika filsafat misalnya bicara tentang masyarakat, hukum, sisiologi, kesusilaan dan sebagainya, di satu pandangan tidak diarahkan ke sebab-sebab yang terdekat, melainkan ‘ke’mengapa’ yang terakhir sepanjang kemungkinan yang ada pada budi manusia berdasarkan kekuatannya itu.
“Filsafat adalah ilmu Pengetahuan dan Teknologi, filsafat tidak memperlihatkan banyak kemajuan dalam bidang penyelidikan. Ilmu pengetahuan dan Teknologi bahkan melambung tinggi mencapai era nuklir dan sudah diambang kemajuan dalam mempengaruhui penciptaan dan reproduksi manusia itu sendiri dengan revolusi genitika yang bermuara pada bayi tabung I di Inggris serta diambang kelahiran kurang lebih 100 bayi tabung yang sudah hamil tua.
Di satu pihak fakta yang tak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berutang kepada ilmu pengetahuan dan teknologi, berupa penciptaan sarana yang memudahkan pemenuhan kebutuhan manusia untuk hidup sesuai dengan kodratnya. Inilah dampak positifnya disatu pihak sedangkan dipihak lainnya bdampak negatifnya sangat menyedihkan.
Bahwa ilmu yang bertujuan menguasai alam, sering melupakan faktor eksitensi manusia, sebagai bagian daripada alam, yang merupakan tujuan pengembangan ilmu itu sendiri kepada siapa manfaat dan kegunaannya dipersembahkan. Kemajuan ilmu teknologi bukan lagi meningkatkan martabat manusia itu, tetapi bahkn harus dibayar dengan kebahagiaannya. Berbagai polusi dan dekadensi dialami peradaban manusia disebabkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu. Dalam usahanya pendidikan keilmuwan bukanlah semata-mata ditujukan untuk menghasilkan ilmuwan yang pandai dan trampil, tetapi juga bermoral tinggi.
c. Abstraksi
Untuk menerangkan selanjutnya hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan, baiklah dikemukakan pendapat Aristoteles tentang abstraksi. Menurut beliau pemekiran manusia melampaui 3 jenis abstraksi (kata Latin ‘abstrahere’ yang
berarti menjauhkan diri, mengambil dari).
Dari setiap jenis abstraksi itu menghasilkan satu jenis pengetahuan yaitu :
1) pengetahuan fisis
2) pengetahuan matematis,
3) pengetahuan teologis.
1) Pengetahuan Fisis
Dalam kenyataannya manusia mulai berpikir bila ia mengamati, mengobservasi sesuatu. Faktor keheranan, kesangsian dan kesadaran akan keterbatasan manusia barulah timbul setelah pengamatan atau observasi lebih dahulu. Peranan ratio atau akal budi manusia melepaskan (mengabstrahir) dari pengamatan inderawi suatu segi-segi tertentu yaitu materi yang dapat dirasakan ratio atau akal budi manusia bersama dengan materi yang 'abstrak' itu menghasilkan pengetahuan yang disebut "fisika' (dari kataYunani 'Physos' = alam).
2) pengetahuan Matematis atau Matesis
Selanjutnya manusia masih mempunyai kemampuan untuk dapat mengabstrahir atau melepaskan lebih banyak lagi Bahwa kita dapat melepaskan materi yang kelihatan dari semua perubahan yang terjadi.
Hal ini dapat terjadi bila ratio atau akal budi manusia dapat melepaskan dari materi hanya segi yang dapat dimengerti saja. Dengan kemampuan abstraksi ini manusia dapatlah menghitung dan mengukur, karena perbuatan menghitung. dan mengukur itu mungkin lebih dari semua gejala dan semua perubahan dengan menutup indera mata Adapun jenis pengetahuan yang dihasilkan oleh abstraksi ini disebut 'matesis' (matematika) (kata Yunani'mathesist = pengetahuan ilmu).
3) Pengetahuan Teologis atau Filsafat Pertama
Pada tahap terakhir manusia juga dapat mengabstrahir dari semua materi, baik materi yang dapat diamati, maupun yang dapat diketahui. Apabila manusia berpikir tentang keseluruhan realitas tentang sangkanparannya (asal mula dan tujuannya), tentang jiwa manusia, tentang cita dan citranya, tentang realitas yang paling luhur, tentang Tuhan, maka berarti tidak hanya terbatas pada bidang fisika saja tetapi juga bidang matematika yang sudah ditinggalkannya. Di sini terbukti bahwa semua jenis pengamatan tidak berguna. lagi Adapun jenis berpikir ini disebut 'teologi' atau filsafat pertama,
Sesuai dengan tradisi setelah Aristoteles pengetahuan jenis ketiga ini, disebut 'rnetafisika, bidang yang datang setelah (meta') fisika. Menurut Aristoteles baik bidang metafisika, bidang matematika maupun bidang fisika, masih merupakan kesatuan yang keseluruhannya disebut ’filsafat' atau metafisika.
2) Pikiran atau ratio manusia, melalui penalaran analitik dan non-analitik. Dalam pikiran manusia ini lahirlah pengetahuan yang pertama beberapa ribu tahun yang lalu yaitu filsafat. Dalam usaha menjawab tantangan hidup manusia maka fase berikutnya lahirlah Ilmu-ilmu Alam (Natural Philosophy) dan Ilmu-ilmu Sosial (Moral philosophy).
Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang telah teruji kebenarannya secara empiris. Batas penjelajahan ilmu sempit sekali, hanya sepotong atau sekeping saja dari sekian permasalahan kehidupan manusia, bahkan dalam batas pengalaman manusia itu, ilmu hanya berwenang menentukan benar atau salahnya suatu pernyataan. Demikian pula tentang baik buruk, semua itu (termasuk ilmu) berpaling kepada sumber-sumber moral (filsafat Etika), tentang indah dan jelek (termasuk ilmu) semuanya berpaling kepada pengkajian filsafat Estetika.
Ilmu tanpa (bimbingan moral) agama adalah buta ”, demi kian kata tokoh Einstein. Kebutuaan moral dari ilmu itu mungkin membawa kemanusiaan kejurang malapetaka.
Relativitas atau kenisbian ilmu pengetahuan bermuara kepada filsafat dan relativitas atau kenisbian ilmu pengatahuan serta filsafat bermuara kepada agama.
Filsafat ialah ’ ilmu istimewa’ yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa karena masalah-masalah itu berada di luar atau di atas jangkauan ilmu pengetahuan biasa. Filsafat adalah hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk dapat memahami dan mendalami secara radikal integral daripada segala sesuatu yang ada mengenai :
a. Hakikat Tuhan
b. Hakikat alam semesta, dan
c. Hakikat manusia termasuk sikap manusia terhadap hal tersebut sebagai konsekuensi logis daripada pahamnya tersebut.
Adapun titik perbedaanya adalah sebagai berikut :
a. Ilmu dan filsafat adalah hasil dari sumber yang sama yaitu : ra’yu (akal, budi, ratio, reason, nous, rede, ver nunft) manusia. Sedangkan agama bersumber dari Wahyu Allah.
b. Ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan jalan penyeledikan, pengalaman (empiri) dan percobaan (eksperimen) sebagai batu ujian. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara mengelanakan atau mengembarakan akal budi secara redikal (mengakar), dan integral (menyeluruh) serta universal (mengalam),tidak merasa terikat oleh ikatan apapun, kecuali ikatan tangannya sendiri yang disebut ’logika’ Manusia dalam mencari dan menemukan kebenaran dengan dan dalam agama dengan jalan mempertanyakan pelbagi masalah asasi dari suatu kepada kitab Suci, kondifikasi Firman Allah untuk manusia di permukaan planet bumi ini.
Kebenaran ilmu pengetahuan ialah kebenaran positif, kebenaran filsafat ialah kebenaran spekulatif (dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiri, riset, eksperimen). Kebenaran ilmu pengetahuan dan filsafat keduanya nisbi (relatif).
Dengan demikian terungkaplah bahwa manusia adalah mahluk pencari kebenaran. Di dalam mencari, menghampiri dan menemukan kebenaran itu terdapat tiga buah jalan yang ditempuh manusia yang sekaligus merupakan institut kebenaran yaitu : Ilmu, filsafat dan Agama.
Ilmu Sejarah telah dapat membuktikan tentang pengungkapan ilmiah manusia yang sangat menonjol di dunia adalah di zaman Yunani Kuno (abad IV dan V S.M). Bangsa Yunani ditakdirkan Allah sebagai manusia yang mempunyai akal jernih. Bagi mereka ilmu itu adalah suatu keterangan rasional tentang sebab-musabab dari segala sesuatu didunia ini. Dunia adalah kosmos yang teratur dengan aturan kausalitas yang bersifat rasional. Demikianlah tiga dasar yang menguasai ilmu orang Yunani pada waktu itu, yaitu: Kosmos, Kausalitas dan Rasional.
Pada hakikatnya kelahiran cara berfikir ilmiah itu merupakan suatu revolusi besar dalam dunia ilmu pengetahuan, karena sebelum itu manusia lebih banyak berpikir menurut gagasan-gagasan magi dan mitologi yang bersifat gaib dan tidak rasional.
Dengan berilmu dan berfilsafat manusia ingin mencari hakikat kebenaran daripada segala sesuatu Dalam berkelana mencari pengetahuan dan kebenaran itu menusia pada akhirnya tiba pada kebenaran yang absolut atau yang mutlak yaitu ‘Causa Prima’ daripada segala yang ada yaitu Allah Maha Pencipta, Maha Besar, dan mengetahui.
Oleh karena itu kita setuju apabila disebutkan bahwa manusia itu adalah mahluk pencari kebenaran. Di dalam mencari kebenaran itu manusia selalu bertanya.
Dalam kenyataannya makin banyak manusia makin banyaklah pertanyaan yang timbul. Manusia ingin mengetahui perihal sangkanparannya, asal mula dan tujuannya, perihal kebebasannya dan kemungkinan-kemungkinannya. Dengan sikap yang demikian itu manusia sudah menghasilkan pengetahuan yang luas sekali yang secara sistematis dan metodis telah dikelompokan kedalam berbagai disiplin keilmuwan. Namun demikian karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka sejumlah besar pertanyaan tetap relevan dan aktual seperti yang muncul pada ribuan tahun yang lalu, yang tidak terjawab oleh Ilmu pengetahuan seperti antara lain: tentang asal mula dan tujuan manusia, tentang hidup dan mati, tentang hakikat manusia sebagainya.
Ketidakmampuan Ilmu pengetahuan dalam menjawab sejumlah pertanyaan itu, maka Filasafat tempat menampung dan mengelolahnya. Filsafat adalah ilmu yang tanpa batas, tidak hanya menyelidiki salah satu bagian dari kenyataan saja, tetapi segala apa yang menarik perhatian manusia.
b. Definisi Ilmu Pengetahuan dan Filsafat
J. Arthur Thompson dalam bukunya” An Introducation to Science” menuliskan bahwa ilmu adalah diskripsi total dan konsisten dari fakta-fakta empiri yang dirumuskan secara bertanggung jawab dalam istilah- istilah yang sederhana mungkin.
Untuk menjelaskan perbedaan antara Ilmu Pengetahuan dan Filsafat, baiklah dikemukakan rumusan Filsafat dari filsuf ulung Indonesia Prof. DR. N. Driyarkara S.Y., yang mengatakan “Filsafat adalah pikiran manusia yang radikal, artinya yang dengan mengesampingkan pendirian-pendirian dan pendapat- pendapat yang diterima saja, mencoba memperlihatkan pandangan yang merupakan akar dari lain-lain pandangan dan sikap praktis. Jika filsafat misalnya bicara tentang masyarakat, hukum, sisiologi, kesusilaan dan sebagainya, di satu pandangan tidak diarahkan ke sebab-sebab yang terdekat, melainkan ‘ke’mengapa’ yang terakhir sepanjang kemungkinan yang ada pada budi manusia berdasarkan kekuatannya itu.
“Filsafat adalah ilmu Pengetahuan dan Teknologi, filsafat tidak memperlihatkan banyak kemajuan dalam bidang penyelidikan. Ilmu pengetahuan dan Teknologi bahkan melambung tinggi mencapai era nuklir dan sudah diambang kemajuan dalam mempengaruhui penciptaan dan reproduksi manusia itu sendiri dengan revolusi genitika yang bermuara pada bayi tabung I di Inggris serta diambang kelahiran kurang lebih 100 bayi tabung yang sudah hamil tua.
Di satu pihak fakta yang tak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berutang kepada ilmu pengetahuan dan teknologi, berupa penciptaan sarana yang memudahkan pemenuhan kebutuhan manusia untuk hidup sesuai dengan kodratnya. Inilah dampak positifnya disatu pihak sedangkan dipihak lainnya bdampak negatifnya sangat menyedihkan.
Bahwa ilmu yang bertujuan menguasai alam, sering melupakan faktor eksitensi manusia, sebagai bagian daripada alam, yang merupakan tujuan pengembangan ilmu itu sendiri kepada siapa manfaat dan kegunaannya dipersembahkan. Kemajuan ilmu teknologi bukan lagi meningkatkan martabat manusia itu, tetapi bahkn harus dibayar dengan kebahagiaannya. Berbagai polusi dan dekadensi dialami peradaban manusia disebabkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu. Dalam usahanya pendidikan keilmuwan bukanlah semata-mata ditujukan untuk menghasilkan ilmuwan yang pandai dan trampil, tetapi juga bermoral tinggi.
c. Abstraksi
Untuk menerangkan selanjutnya hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan, baiklah dikemukakan pendapat Aristoteles tentang abstraksi. Menurut beliau pemekiran manusia melampaui 3 jenis abstraksi (kata Latin ‘abstrahere’ yang
berarti menjauhkan diri, mengambil dari).
Dari setiap jenis abstraksi itu menghasilkan satu jenis pengetahuan yaitu :
1) pengetahuan fisis
2) pengetahuan matematis,
3) pengetahuan teologis.
1) Pengetahuan Fisis
Dalam kenyataannya manusia mulai berpikir bila ia mengamati, mengobservasi sesuatu. Faktor keheranan, kesangsian dan kesadaran akan keterbatasan manusia barulah timbul setelah pengamatan atau observasi lebih dahulu. Peranan ratio atau akal budi manusia melepaskan (mengabstrahir) dari pengamatan inderawi suatu segi-segi tertentu yaitu materi yang dapat dirasakan ratio atau akal budi manusia bersama dengan materi yang 'abstrak' itu menghasilkan pengetahuan yang disebut "fisika' (dari kataYunani 'Physos' = alam).
2) pengetahuan Matematis atau Matesis
Selanjutnya manusia masih mempunyai kemampuan untuk dapat mengabstrahir atau melepaskan lebih banyak lagi Bahwa kita dapat melepaskan materi yang kelihatan dari semua perubahan yang terjadi.
Hal ini dapat terjadi bila ratio atau akal budi manusia dapat melepaskan dari materi hanya segi yang dapat dimengerti saja. Dengan kemampuan abstraksi ini manusia dapatlah menghitung dan mengukur, karena perbuatan menghitung. dan mengukur itu mungkin lebih dari semua gejala dan semua perubahan dengan menutup indera mata Adapun jenis pengetahuan yang dihasilkan oleh abstraksi ini disebut 'matesis' (matematika) (kata Yunani'mathesist = pengetahuan ilmu).
3) Pengetahuan Teologis atau Filsafat Pertama
Pada tahap terakhir manusia juga dapat mengabstrahir dari semua materi, baik materi yang dapat diamati, maupun yang dapat diketahui. Apabila manusia berpikir tentang keseluruhan realitas tentang sangkanparannya (asal mula dan tujuannya), tentang jiwa manusia, tentang cita dan citranya, tentang realitas yang paling luhur, tentang Tuhan, maka berarti tidak hanya terbatas pada bidang fisika saja tetapi juga bidang matematika yang sudah ditinggalkannya. Di sini terbukti bahwa semua jenis pengamatan tidak berguna. lagi Adapun jenis berpikir ini disebut 'teologi' atau filsafat pertama,
Sesuai dengan tradisi setelah Aristoteles pengetahuan jenis ketiga ini, disebut 'rnetafisika, bidang yang datang setelah (meta') fisika. Menurut Aristoteles baik bidang metafisika, bidang matematika maupun bidang fisika, masih merupakan kesatuan yang keseluruhannya disebut ’filsafat' atau metafisika.
2) Pikiran atau ratio manusia, melalui penalaran analitik dan non-analitik. Dalam pikiran manusia ini lahirlah pengetahuan yang pertama beberapa ribu tahun yang lalu yaitu filsafat. Dalam usaha menjawab tantangan hidup manusia maka fase berikutnya lahirlah Ilmu-ilmu Alam (Natural Philosophy) dan Ilmu-ilmu Sosial (Moral philosophy).
Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang telah teruji kebenarannya secara empiris. Batas penjelajahan ilmu sempit sekali, hanya sepotong atau sekeping saja dari sekian permasalahan kehidupan manusia, bahkan dalam batas pengalaman manusia itu, ilmu hanya berwenang menentukan benar atau salahnya suatu pernyataan. Demikian pula tentang baik buruk, semua itu (termasuk ilmu) berpaling kepada sumber-sumber moral (filsafat Etika), tentang indah dan jelek (termasuk ilmu) semuanya berpaling kepada pengkajian filsafat Estetika.
Ilmu tanpa (bimbingan moral) agama adalah buta ”, demi kian kata tokoh Einstein. Kebutuaan moral dari ilmu itu mungkin membawa kemanusiaan kejurang malapetaka.
Relativitas atau kenisbian ilmu pengetahuan bermuara kepada filsafat dan relativitas atau kenisbian ilmu pengatahuan serta filsafat bermuara kepada agama.
Filsafat ialah ’ ilmu istimewa’ yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa karena masalah-masalah itu berada di luar atau di atas jangkauan ilmu pengetahuan biasa. Filsafat adalah hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk dapat memahami dan mendalami secara radikal integral daripada segala sesuatu yang ada mengenai :
a. Hakikat Tuhan
b. Hakikat alam semesta, dan
c. Hakikat manusia termasuk sikap manusia terhadap hal tersebut sebagai konsekuensi logis daripada pahamnya tersebut.
Adapun titik perbedaanya adalah sebagai berikut :
a. Ilmu dan filsafat adalah hasil dari sumber yang sama yaitu : ra’yu (akal, budi, ratio, reason, nous, rede, ver nunft) manusia. Sedangkan agama bersumber dari Wahyu Allah.
b. Ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan jalan penyeledikan, pengalaman (empiri) dan percobaan (eksperimen) sebagai batu ujian. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara mengelanakan atau mengembarakan akal budi secara redikal (mengakar), dan integral (menyeluruh) serta universal (mengalam),tidak merasa terikat oleh ikatan apapun, kecuali ikatan tangannya sendiri yang disebut ’logika’ Manusia dalam mencari dan menemukan kebenaran dengan dan dalam agama dengan jalan mempertanyakan pelbagi masalah asasi dari suatu kepada kitab Suci, kondifikasi Firman Allah untuk manusia di permukaan planet bumi ini.
Kebenaran ilmu pengetahuan ialah kebenaran positif, kebenaran filsafat ialah kebenaran spekulatif (dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiri, riset, eksperimen). Kebenaran ilmu pengetahuan dan filsafat keduanya nisbi (relatif).
Dengan demikian terungkaplah bahwa manusia adalah mahluk pencari kebenaran. Di dalam mencari, menghampiri dan menemukan kebenaran itu terdapat tiga buah jalan yang ditempuh manusia yang sekaligus merupakan institut kebenaran yaitu : Ilmu, filsafat dan Agama.
BERTENTANGAN DENGAN POLITIK
pedoman untuk lebih memahami secara teoritis sebagai berikut :
a. Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberikan rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain.
b. Budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrin dan aspek generiknya. Yang pertama menekankan pada isi atau materi, seperti sosialisme, demokrasi, atau nasionalisme. Yang kedua (aspek generik) menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik, seperti militan, utopis, terbuka, atau tertutup.
c. Hakikat dan ciri budaya politik yang menyangkut masalah nilai-nilai adalah prinsip dasar yang melandasi suatu pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan.
d. Bentuk budaya politik menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas (mempertahankan status quo atau mendorong mobilitas), prioritas kebijakan (menekankan ekonomi atau politik).
Dengan pengertian budaya politik di atas, nampaknya membawa kita pada suatu pemahaman konsep yang memadukan dua tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan individu. Dengan orientasi yang bersifat individual ini, tidaklah berarti bahwa dalam memandang sistem politiknya kita menganggap masyarakat akan cenderung bergerak ke arah individualisme. Jauh dari anggapan yang demikian, pandangan ini melihat aspek individu dalam orientasi politik hanya sebagai pengakuan akan adanya fenomena dalam masyarakat secara keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari orientasi individual.
1. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukkan
Pada negara yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi yang kompleks, menuntut kerja sama yang luas untuk memperpadukan modal dan keterampilan. Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap orang terhadap orang lain. Pada kondisi ini budaya politik memiliki kecenderungan sikap ”militan” atau sifat ”tolerasi”.
a. Budaya Politik Militan
Budaya politik dimana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha mencari alternatif yang terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha jahat dan menantang. Bila terjadi kriris, maka yang dicari adalah kambing hitamnya, bukan disebabkan oleh peraturan yang salah, dan masalah yang mempribadi selalu sensitif dan membakar emosi.
b. Budaya Politik Toleransi
Budaya politik dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide yang harus dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar yang mana selalu membuka pintu untuk bekerja sama. Sikap netral atau kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga terhadap orang.
Jika pernyataan umum dari pimpinan masyarakat bernada sangat militan, maka hal itu dapat menciptakan ketegangan dan menumbuhkan konflik. Kesemuanya itu menutup jalan bagi pertumbuhan kerja sama. Pernyataan dengan jiwa tolerasi hampir selalu mengundang kerja sama. Berdasarkan sikap terhadap tradisi dan perubahan. Budaya Politik terbagi atas :
a. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Absolut
Budaya politik yang mempunyai sikap mental yang absolut memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang. dianggap selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi. Usaha yang diperlukan adalah intensifikasi dari kepercayaan, bukan kebaikan. Pola pikir demikian hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan mentalnya dan menolak atau menyerang hal-hal yang baru atau yang berlainan (bertentangan). Budaya politik yang bernada absolut bisa tumbuh dari tradisi, jarang bersifat kritis terhadap tradisi, malah hanya berusaha memelihara kemurnian tradisi. Maka, tradisi selalu dipertahankan dengan segala kebaikan dan keburukan. Kesetiaan yang absolut terhadap tradisi tidak memungkinkan pertumbuhan unsur baru.
b. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Akomodatif
Struktur mental yang bersifat akomodatif biasanya terbuka dan sedia menerima apa saja yang dianggap berharga. Ia dapat melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap diri sendiri, dan bersedia menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini.
Tipe absolut dari budaya politik sering menganggap perubahan sebagai suatu yang membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap sebagai suatu tantangan yang berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan dianggap sebagai penyimpangan. Tipe akomodatif dari budaya politik melihat perubahan hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan. Perubahan mendorong usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih sempurna.
Rabu, 05 Januari 2011
MALPRAKTEK DALAM PELAYANAN KESEHATAN
MALPRAKTEK DALAM PELAYANAN KESEHATAN
MALPRAKTEK DALAM PELAYANAN KESEHATAN
Juni 20, 2009 olehagungrakhmawan Meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak-haknya merupakan salah satu indicator positif meningkatnya kesadaran hukum dalam masyarakat. Sisi negatifnya adalah adanyakecenderungan meningkatnya kasus tenaga kesehatan ataupun rumah sakit di somasi, diadukanatau bahkan dituntut pasien yang akibatnya seringkali membekas bahkan mencekam para tenagakesehatan yang pada gilirannya akan mempengaruhi proses pelayanan kesehatan tenagakesehatan dibelakang hari. Secara psikologis hal ini patut dipahami mengingat berabad-abadtenaga kesehatan telah menikmati kebebasan otonomi paternalistik yang asimitris kedudukannyadan secara tiba-tiba didudukkan dalam kesejajaran. Masalahnya tidak setiap upaya pelayanankesehatan hasilnya selalu memuaskan semua pihak terutama pasien, yang pada gilirannya denganmudah menimpakan beban kepada pasien bahwa telah terjadi malpraktek.Dari definisi malpraktek ³adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawatpasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukurandilingkungan yang
sama´. (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos,California, 1956).
Dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telahterjadi kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yangukurannya adalah lazim dipergunakan diwilayah tersebut. Andaikata akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi apakah bukan merupakan resiko yang melekat terhadap suatutindakan medis tersebut
(risk of treatment)
karena perikatan dalam transaksi teraputik antaratenagakesehatan dengan pasien adalah perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaningverbintenis) dan bukan perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaa verbintenis).Apabila tenaga tenaga kesehatan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal inibukanlah merupakan hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatandalam membuktikan ada dan tidaknya kesalahan.Dalam hal tenaga kesehatan didakwa telah melakukan
ciminal malpractice,
harus dibuktikanapakah perbuatan tenaga kesehatan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya yakni :a. Apakah perbuatan
(positif act
atau
negatif act)
merupakan perbuatan yang tercelab. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin
(mens rea)
yang salah (sengaja,ceroboh atau adanya kealpaan). Selanjutnya apabila tenaga perawatan dituduh telah melakukankealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harusdibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batinberupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga.
Dalam kasus atau gugatan adanya
civil malpractice
pembuktianya dapat dilakukan dengan duacara yakni :
1.
Cara langsung
O
leh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :1.
D
uty
(kewajiban)Dalam hubungan perjanjian tenaga perawatan dengan pasien, tenaga perawatan haruslahbertindak berdasarkan(1) Adanya indikasi medis(2) Bertindak secara hati-hati dan teliti(3) Bekerja sesuai standar profesi(4) Sudah ada informed consent.1.
D
ereliction of
D
uty (penyimpangan dari kewajiban)
Jika seorang tenaga perawatan melakukan asuhan keperawatan menyimpang dari apa yangseharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya,maka tenaga perawatan tersebut dapat dipersalahkan.1.
D
irect Causation (penyebab langsung)
2.
D
amage (kerugian)
Tenaga perawatan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antarapenyebab
(causal)
dan kerugian
(damage)
yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwaatau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil
(outcome)
negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan tenaga perawatan.Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahandibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).
2
.
Cara tidak langsung
C
ara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagipasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya
sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur).
Doktrin
res ipsa loquitur
dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga perawatan tidak lalaib. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga perawatanc. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada
contributorynegligence.
gugatan pasien .
Upaya pencegahan malpraktek :
1.
Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga medis karenaadanya malpraktek diharapkan tenaga dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati,yakni:
a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjianberbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.c.
Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d.
Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter
e.
Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
f.
Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
2
.
Upaya menghadapi tuntutan hukum
Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehinggaperawat menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga kesehatan seharusnyalah bersifat pasif danpasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian tenaga kesehatan.Apabila tuduhan kepada kesehatan merupakan
criminal malpractice
, maka tenaga kesehatandapat melakukan :a.
Informal defence
, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhanyang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnyaperawat mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risikomedik (
risk of treatment),
atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin
(men rea)
sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.b.
Formal/legal defence
, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk padadoktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggungjawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya perawat menggunakan jasa penasehat hukum,sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.Pada perkara perdata dalam tuduhan
civil malpractice
dimana perawat digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karenadalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, denganperkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwatergugat (perawat) bertanggung jawab atas derita
(damage)
yang dialami penggugat. Untuk membuktikan adanya
civil malpractice
tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya faktayang dapat berbicara sendiri
(res ipsa loquitur),
apalagi untuk membuktikan adanya tindakanmenterlantarkan kewajiban
(dereliction of duty)
dan adanya hubungan langsung antaramenterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan
(damage),
sedangkan yang harusmembuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkantenaga perawatan.
Langganan:
Postingan (Atom)